Lokasi candi Sukuh terletak di lereng kaki Gunung Lawu pada ketinggian kurang lebih 1.186 meter di atas permukaan laut pada koordinat 07o37, 38’ 85’’ Lintang Selatan dan 111o07,. 52’65’’ Bujur Barat. Candi ini terletak di Dukuh Berjo, Desa Sukuh, kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Candi ini berjarak kurang lebih 20 kilometer dari kota Karanganyar dan 36 kilometer dari Surakarta.
Candi Sukuh berlatar belakang agama Hindu dan diperkirakan dibangun
didirikan pada akhir abad ke-15 M. Berbeda dengan umumnya candi Hindu di
Jawa Tengah, arsitektur Candi Sukuh dinilai menyimpang dari ketentuan
dalam kitab pedoman pembuatan bangunan suci Hindu, Wastu Widya. Menurut
ketentuan, sebuah candi harus berdenah dasar bujur sangkar dengan tempat
yang paling suci terletak di tengah. Adanya penyimpangan tersebut
diduga karena Candi Sukuh dibangun pada masa memudarnya pengaruh
Hinduisme di Jawa. Memudarnya pengaruh Hinduisme di Jawa rupanya
menghidupkan kembali unsur-unsur budaya setempat dari zaman Megalitikum.
Pengaruh zaman prasejarah terlihat dari bentuk bangunan Candi Sukuh
yang merupakan teras berundak. Bentuk semacam itu mirip dengan bangunan
punden berundak yang merupakan ciri khas bangunan suci pada masa
pra-Hindu. Ciri khas lain bangunan suci dari masa pra-Hindu adalah
tempat yang paling suci terletak di bagian paling tinggi dan paling
belakang.
Uniknya lagi, secara fisik dan visual, arsitektur Candi Sukuh lebih
mirip bangunan suku Maya di Amerika Selatan. Bentuknya piramid
terpotong, seperti trapesium, yang memiliki tiga teras bertingkat dan
ada anak tangga di bagian tengah-depan candi tersebut. Yang lebih
menarik dari penelitian pada Candi Sukuh adalah bila diamati dan
diteliti, pahatan pada candi ini sudah membentuk pahatan tiga dimensi.
Ini menunjukkan bahwa peradaban zaman sudah lebih dulu mengenal bentuk
tiga dimensi.
Saat wisatawan menaiki anak tangga
dalam lorong gapura, akan disuguhi relief yang sangat vulgar terpahat di
lantai. Relief ini menggambarkan phallus yang berhadapan dengan vagina.
Inilah yang kemudian menjadi trademark dari popularitas Candi Sukuh.
Konon dulu, seorang suami yang ingin menguji kesetiaan istrinya, dia
akan meminta sang istri melangkahi relief ini. Jika kain kebaya yang
dikenakannya robek, maka dia tipe isteri setia. Tapi sebaliknya, jika
kainnya hanya terlepas, sang isteri diyakini telah berselingkuh. Namun
berbeda dengan sumber yang lain yang admin anehdidunia.com temukan, di
sumber lain mengatakan bahwa jika sang gadis yang tidak perawan atau melakukan perselingkuhan melaukan tes ini, maka kain yang digunakan akan robek dan meneteskan darah.
Dan apabila seorang lelaki mengetes keperjakaannya,
maka dia harus melangkahinya juga dan jika laki laki tersebut
terkencing kencing, maka menjadi bukti bahwa lelaki tersebut sudah tidak
perjaka atau pernah melakukan perselingkuhan. Dalam perkembangannya
sekarang, cukup banyak anak-anak usia ABG yang datang ke sini berhasrat
mengikuti tradisi dan kepercayaan para leluhur tadi. Tapi, karena malu,
kurang percaya diri, serta takut kalau-kalau benar terjadi pada diri
mereka, maka niat coba-coba itu sering tidak dilaksanakan.
Memasuki kompleks candi, kita akan bertemu dengan trap pertama yang
pintu masuknya melalui sebuah gapura. Pada sisi gapura sebelah utara
terdapat relief `manusia ditelan raksasa` yakni sebuah `sengkalan rumit`
(candrasengkala) yang bisa dibaca `Gapura (9) buta (5) mangan (3) wong
(1)` atau gapura raksasa memakan manusia, yang merujuk sebuah tahun
yakni 1359 Saka, atau tahun 1437 Masehi, tahun dimana pembangunan gapura
pertama selesai. Di sisi selatan gapura juga terdapat relief raksasa
yang berlari sambil menggigit ekor ular. Menurut candrasengkalanya
berbunyi `Gapura buta anahut buntut` (gapura raksasa menggigit ekor
ular), yang merujuk pula tahun 1359 Saka atau 1437 Masehi.
Relief pertama menggambarkan Dewi Kunti palsu yang merupakan
penyamaran Bathari Durga yang mendatangi Sadewa dan meminta satria itu
'meruwat' (menghilangkan kutukan) dirinya. Relief kedua menggambarkan
ketika Bima, kakak Sadewa, berperang dengan seorang raksasa. Tangan kiri
Bima mengangkat tubuh raksasa, sedangkan tangan kanannya menancapkan
kuku Pancanaka (senjata pusaka Bima) ke perut lawannya. Relief
ketiga menggambarkan Sadewa, yang menolak untuk 'meruwat' Bathari
Durga, diikatkan ke sebuah pohon. Di hadapannya berdiri Bathari Durga
yang mengancamnya dengan menggunakan sebilah pedang. Relief keempat
menggambarkan pernikahan Sadewa dengan Dewi Pradhapa yang dianugerahkan
kepadanya karena berhasil 'meruwat' Bathari Durga. Relief kelima
menggambarkan Sadewa beserta pengiringnya menghadap Dewi Uma yang telah
berhasil diruwat.
Di depan bangunan utama terdapat tiga arca bulus kura-kura berukuran
besar. Kura-kura yang melambangkan dunia bawah, yakni dasar gunung
Mahameru, juga terdapat di Candi Cetha.
Bangunan
utama berbentuk trapesium berdenah dasar 15 m2 dan tinggi mencapai 6 m.
Di pertengahan sisi barat bangunan terdapat tangga yang sempit dan
curam menuju ke atas atap. Diduga bangunan yang ada saat ini adalah
batur atau kaki candi, sedangkan bangunan candinya sendiri kemungkinan
terbuat dari kayu. Dugaan tersebut didasarkan pada adanya beberapa umpak
(kaki tiang bangunan) batu di pelataran atap. Di tengah pelataran atap
terdapat sebuah lingga.