Tidak banyak yang tahu
bahwa di daerah Kartasura yang merupakan salah satu kecamatan di Sukoharjo
dulunya merupakan Kerajaan Mataram Islam yang dikenal dengan sebutan Kraton
Mataram Kartasura karena terletak di Kartasura. Daerah ini pernah menjadi pusat
pemerintahan Kerajaan Mataram Islam setelah terjadi pemindahan pusat pemerintahan dari Kraton Mataram Pleret.
Tidak sulit menemukan keberadaan Keraton Kartasura. Berada
di bagian barat kota Solo, dan hanya 15 menit perjalanan menggunakan kendaraan.
Sekitar 300 meter ke selatan dari jalan utama Slamet Riyadi Kartasura, benteng
yang dulu melindungi keluarga kerajaan dari serbuan pemberontak, sudah
terlihat. Benteng setinggi 4 meter dengan tebal 2 meter, saat ini berada di
tengah perkampungan warga.
Keraton Kartasura memiliki dua benteng. Benteng bagian dalam
yaitu benteng Srimanganti, dan benteng bagian luar adalah benteng Baluarti.
Namun untuk Baluarti hanya tinggal 100 meter saja yang tersisa, karena sebagian
besar digunakan sebagai pemukiman penduduk. Untuk benteng Srimanganti, masih
tegak berdiri meski di beberapa bagian mengalami kerusakan.
Benteng Srimanganti masih tampak kokoh berdiri mengelilingi
lahan seluas 2,5 ha yang tak lain adalah bekas lokasi keraton Kartasura.
Terletak di Desa Krapyak, Kecamatan Kartasura, Sukoharjo, Jawa Tengah, keraton
ini menjadi bagian penting dari sejarah kejayaan dinasti Kerajaan Mataram Islam
di Jawa.
Benteng Srimanganti tersebut menjadi saksi bisu Keraton
Kartasura yang berdiri pada tahun 1680-1742, oleh Amangkurat II. Berawal dari
pemberontakan Trunajaya dari Madura, pada tahun 1677, yang menyerbu di Keraton
Mataram lama yang terletak di Plered. Saat itu Adipati Anom yang selanjutnya
bergelar Amangkurat II, melarikan diri ke hutan Wanakerta, dan mendirikan
Keraton Kartasura. Setelah itu, pada tahun 1681, Amangkurat II yang dibantu VOC
pun memenangkan perang dengan Kerajaan Mataram dimana Pangeran Puger yang
bertahta di Kerajaan Mataram Plered. Akhirnya, Mataram berhasil dikuasai
Amangkurat II.
Setelah itu, perang dan pemberontakan menghiasai kisah dari
Kraton Kartasura, dan yang paling terkenal terjadi pemberontakan mas Garendi
pada tahun 1742 yang dibantu etnis Tionghoa menyerbu dan menghancurkan Keraton
Kartasura. Saat itu, Pakubuwono II yang bertahta, melarikan diri ke Ponorogo.
Pada tahun 1743, Pakubuwono II kembali ke Kartasura karena pemberontak sudah
dikalahkan, namun kondisi keraton yang porak poranda dan rusak, membuat dirinya
memilih untuk memindahkan keraton Kartasura ke Sala yang saat ini dikenal
dengan Surakarta. Pakubuwana II menempati Kraton Surakarta pada tahun 1745.
Lobang besar berdiameter dua meter di bagian utara benteng,
diyakini dilakukan oleh pemberontak mas Garendi yang menerobos ke dalam keraton
dengan menjebol benteng bersama sama anak buahnya. Meskipun lobang tersebut
sudah ditutup oleng pengelola, namun warga sekitar menganggap awal kehancuran
Keraton Kartasura dari lobang yang dibuat para pemberontak saat itu. Warga pun
menganggap lokasi tersebut wingit atau angker.
Salah satu bangunan yang sering didatangi adalah bangunan
utama keraton berada sebelah timur bagian dalam keraton. Tampak sebuah dua batu
diatas lantai berukuran kurang lebih 4x 4 meter dengan tinggi 50 centimeter,
berada di bawah pohon beringin raksasa, setinggi 20-an meter. Suasana mistis
kental terasa apalagi kondisi rumput liar yang tumbuh subur dimana mana,
menunjukkan keraton Kartasura yang terbengkalai, tidak terawat.
Untuk bagian bangunan lainnya seperti bangunan utama
keraton, Gunung Kunci (taman kerajaan), Masjid Agung, Gedong Obat (penyimpanan
mesiu), Tangsi Kompeni (barak militer), sudah dibawa ke Keraton Surakarta pada
tahun 1745 atau saat pemindahan keraton. Satu-satunya peninggalan yang tersisi
adalah dua benteng, Srimanganti dan Baluarti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar