Senin, 31 Juli 2017

CANDI MUNCAR, GIRIMARTO, WONOGIRI




Sejarah Candi Muncar
Menurut beberapa warga yang tinggal di sekitaran “Candi Muncar” ini bersaksi bahwa dulunya Candi Muncar hanya sekumpulan tumpukan batu dan “Muncar” sendiri adalah air terjun yang mempuyai ketinggian lebih dari 100 Meter. Sehingga Candi ini di sebut-sebut dengan nama Candi Muncar.


Selanjutnya pindah ke bawah, nantinya kita akan di suguhkan dengan pemandangan dan bendungan Candi Muncar yang memang bendungan ini adalah bendungan buatan yang di resmikan pada tahun 1977.

Waduk Candi Muncar ini menempati tanah desa seluas 1,1 Ha merupakan daerah hutan sehingga keasriannya tidak usah ditannya lagi.

Dilansir dari beberapa sumber terpercaya bahwa pembangunan waduk ini mulai 15 Mei 1976 sampai dengan 31 Maret 1977 dan peresmiannya sendiri oleh bupati Wonogiri Kala itu Soemo Harmoyo.
Pada tahun 2013 silam Bendungan ini mengalami kisah pilu yaitu pengendapan lumpur atau sedimentasi dari waktu ke waktu semakin menebal, namun sekarang dengan kesadaran yang tinggi masyarakat Bubakan dan beberapa perangkat mulai peduli dan perhatian dengan Waduk yang di pastikan memiliki potensi wisata yang tentunya juga meningkatkan pendapatan asli daerah Kecamatan Girimarto.

Setelah pembersihan sedimentasi dan beberapa yang perlu di benahi oleh beberapa relawan membuahkan hasil yang bisa membuat nafas lega, kenapa tidak? Ternyata respon akan keberadaan tempat wisata ini sangatlah tinggi. Pengunjung bisa tembus sampai 600-an ketika hari libur dan akhir pekan.

Mayoritas pengunjung rata-rata adalah pelajar dan para muda-mudi yang gemar akan traveler dan menjelajahi wisata baru yang belum mereka ketahui dan ternyata dekat dengan daerah mereka. Semisal mereka tinggal di Kec. Jatipurno, Jatiroto, Slogohimo, Jatisrono dan daerah lainnya.

Dan saya yang kebetulan dekat dengan tempat wisata ini baru tahu akan keberadaan Candi Muncar ini. Maklum tidak terlalu perhatian akan hal jalan-jalan atau berlibur.

Para relawan ini tidak berbuat sampai di situ saja, mereka menebar bibit ikan ke waduk dan juga membangun Gazebo-gazebo dengan tujuan agar pengunjung bisa menikmati sambil bersantai.
Bagi kalian yang ingin ke tengah waduk, kalian tak perlu berenang atau pun kebingungan karena sudah ada getek yang bisa mengantar kalian ke tengah waduk untuk berfoto selfie atau hanya ingin merasakan pesona keindahan di tengah Waduk Candi Muncar ini.

Untuk sementara ini harga tiket masuk ke Tempat Wisata Candi Muncar ini di tiadakan alias gratis.

































http://www.anomika.net


Selasa, 18 Juli 2017

KRATON PAJANG, KARTOSURO, SUKOHARJO

Petilasan Keraton Pajang Sukoharjo yang berada di Kecamatan Kartasura. Sebelumnya, di Tugu Lilin Pajang kami belok kiri ke Jl Joko Tingkir, dan lalu ke kanan masuk ke Gang Benowo II, sekitar 75m setelah Hotel Pajang Indah, atau 600m setelah Tugu Lilin Pajang. Masuk sejauh 200m, Di sebelah kanan candi bentar ada jalan sejajar pekarangan yang di ujungnya berjaga sepasang arca Dwarapala lagi dan gapura candi bentar kedua. Saya masuk melewati gapura yang terakhir ini.
Gapura candi bentar kedua serta sepasang arca Dwarapala yang Di belakang gapura terdapat pohon beringin rimbun dengan sulur lebat serta patung seekor harimau putih.


Lalu ada poster berisi silsilah Sultan Hadiwijaya. Silsilah dimulai dari Brawijaya V, berputri Ratu Pembayun yang menikah dengan Sri Makurung Prabu Handayaningrat (Jaka Sengara / Ki Ageng Pengging Sepuh) dan berputra Kebo Kanigara, Kebo Kenanga dan Kebo Amiluhur.
Kebo Kenanga menurunkan Mas Karebet, Sultan Pajang bergelar Hadiwijaya. Silsilah itu berakhir pada Amangkurat Jawa yang berputra tiga raja, yaitu PB II, HB I, dan Mangkunegara. Salah satu putera Hadiwijaya yang bernama Pangeran Benawa menurunkan pujangga terkenal, yaitu Yosodipuro I, Yosodipuro II, Yosodipuro Sastronagoro dan Ronggowarsito.
perang Pajang – Mataram tak pernah terjadi karena berhasil dicegah. Namun sesampainya di Prambanan, Sultan Hadiwijaya yang sedang sakit tiba-tiba jatuh dari gajah, dan akhirnya wafat setiba di Pajang.
Kayu tua di Petilasan Keraton Pajang Sukoharjo yang konon merupakan sisa rakit Joko Tingkir yang membawanya dari Tingkir menuju ke Bintoro Demak. Jika pun tidak asli, karena rakit biasanya dari ikatan bambu glondongan, maka sisa getek itu bisa diartikan sebagai pengingat.
Joko Tingir tak ada bedanya dengan Jaka Mada (Gajah Mada). Jika Jaka Mada berhasil mempersatukan Nusantara namun tak bisa mempersatukan agama, maka Joko Tingkir tak bisa mempersatukan Nusantara namun ia bisa mempersatukan agama dan budaya. Maka ajaran manunggalnya kawula dan Pangeran ada di Pajang.
Di Petilasan Keraton Pajang Sukoharjo ada patung kepala bermakuta, mungkin arca Hadiwijaya, dengan mawar melati di atas daun pisang, sebuah gentong dan Yoni di depannya. Menjulang agak tinggi di belakangnya adalah makuta yang hampir menyerupai stupa dengan ornamen susun daun di pangkalnya. Di kiri belakangnya ada patung Semar berukuran kecil.
Setiap malam Jumat Legi di Petilasan Keraton Pajang Sukoharjo ini dilakuan kegiatan tahlil bersama, dengan menyediakan bancakan sego liwet komplit. Konon itu karena wahyu keraton Pajang turun pada hari Jumat Legi. Untuk menghidupkan warisan budaya Pajang juga diadakan Grebeg Agung yang kini telah masuk agenda tahunan Kabupaten Sukoharjo.

Petilasan Keraton Pajang Sukoharjo ini dirintis oleh R. Koesnadi Kusumo Hoeningrat pada Jumat Legi, 3 Desember 1993. Pada 26 Mei 2011 Yayasan Kasultanan Keraton Pajang resmi berdiri berbarengan dengan ritual jumenengan Suradi menjadi Adipati bergelar Kanjeng Raden Adipati Suradi Joyo Negoro, setelah menjalani Ruwatan Sudamala.

Kesultanan Pajang berdiri pada 1549 setelah runtuhnya Jipang Panolan. Karena kadipaten di Jawa Timur melepaskan diri setelah Sultan Trenggana wafat, maka pada 1568 Sunan Prapen mempertemukan Hadiwijaya dengann para adipati Jawa Timur di Giri Kedaton. Pada pertemuan itu para adipati Jawa Timur sepakat mengakui kedaulatan Pajang, dan Panji Wiryakrama dari Surabaya yang memimpin para adipati dinikahkan dengan puteri Hadiwijaya.

Madura juga akhirnya tunduk pada Pajang, ditandai dengan pernikahan Raden Pratanu atau Panembahan Lemah Dhuwur dengan puteri Sultan Hadiwijaya. Sepeninggal Sultan Hadiwijaya, kejayaan Pajang memudar, meskipun Arya Pangiri dengan dukungan Panembahan Kudus sempat naik takhta pada 1583, menyingkirkan putera mahkota Pangeran Benawa.

Pada 1586, Pangeran Benawa yang tersingkir ke Jipang, bersekutu dengan Sutawijaya menyerbu Pajang, berakhir dengan kekalahan Arya Pangiri. Arya Pangiri kemudian dikembalikan ke Demak, dan Pangeran Benawa menjadi raja Pajang ketiga. Pemerintahannya berakhir pada 1587, digantikan Gagak Baning dan Pajang menjadi kadipaten dibawah Mataram.










Kamis, 13 Juli 2017

KRATON KASUNANAN KARTOSURO

Tidak banyak yang tahu bahwa di daerah Kartasura yang merupakan salah satu kecamatan di Sukoharjo dulunya merupakan Kerajaan Mataram Islam yang dikenal dengan sebutan Kraton Mataram Kartasura karena terletak di Kartasura. Daerah ini pernah menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Mataram Islam setelah terjadi pemindahan pusat pemerintahan dari Kraton Mataram Pleret.
 Tidak sulit menemukan keberadaan Keraton Kartasura. Berada di bagian barat kota Solo, dan hanya 15 menit perjalanan menggunakan kendaraan. Sekitar 300 meter ke selatan dari jalan utama Slamet Riyadi Kartasura, benteng yang dulu melindungi keluarga kerajaan dari serbuan pemberontak, sudah terlihat. Benteng setinggi 4 meter dengan tebal 2 meter, saat ini berada di tengah perkampungan warga.
Keraton Kartasura memiliki dua benteng. Benteng bagian dalam yaitu benteng Srimanganti, dan benteng bagian luar adalah benteng Baluarti. Namun untuk Baluarti hanya tinggal 100 meter saja yang tersisa, karena sebagian besar digunakan sebagai pemukiman penduduk. Untuk benteng Srimanganti, masih tegak berdiri meski di beberapa bagian mengalami kerusakan.
Benteng Srimanganti masih tampak kokoh berdiri mengelilingi lahan seluas 2,5 ha yang tak lain adalah bekas lokasi keraton Kartasura. Terletak di Desa Krapyak, Kecamatan Kartasura, Sukoharjo, Jawa Tengah, keraton ini menjadi bagian penting dari sejarah kejayaan dinasti Kerajaan Mataram Islam di Jawa.
Benteng Srimanganti tersebut menjadi saksi bisu Keraton Kartasura yang berdiri pada tahun 1680-1742, oleh Amangkurat II. Berawal dari pemberontakan Trunajaya dari Madura, pada tahun 1677, yang menyerbu di Keraton Mataram lama yang terletak di Plered. Saat itu Adipati Anom yang selanjutnya bergelar Amangkurat II, melarikan diri ke hutan Wanakerta, dan mendirikan Keraton Kartasura. Setelah itu, pada tahun 1681, Amangkurat II yang dibantu VOC pun memenangkan perang dengan Kerajaan Mataram dimana Pangeran Puger yang bertahta di Kerajaan Mataram Plered. Akhirnya, Mataram berhasil dikuasai Amangkurat II.
Setelah itu, perang dan pemberontakan menghiasai kisah dari Kraton Kartasura, dan yang paling terkenal terjadi pemberontakan mas Garendi pada tahun 1742 yang dibantu etnis Tionghoa menyerbu dan menghancurkan Keraton Kartasura. Saat itu, Pakubuwono II yang bertahta, melarikan diri ke Ponorogo. Pada tahun 1743, Pakubuwono II kembali ke Kartasura karena pemberontak sudah dikalahkan, namun kondisi keraton yang porak poranda dan rusak, membuat dirinya memilih untuk memindahkan keraton Kartasura ke Sala yang saat ini dikenal dengan Surakarta. Pakubuwana II menempati Kraton Surakarta pada tahun 1745.
Lobang besar berdiameter dua meter di bagian utara benteng, diyakini dilakukan oleh pemberontak mas Garendi yang menerobos ke dalam keraton dengan menjebol benteng bersama sama anak buahnya. Meskipun lobang tersebut sudah ditutup oleng pengelola, namun warga sekitar menganggap awal kehancuran Keraton Kartasura dari lobang yang dibuat para pemberontak saat itu. Warga pun menganggap lokasi tersebut wingit atau angker.
Salah satu bangunan yang sering didatangi adalah bangunan utama keraton berada sebelah timur bagian dalam keraton. Tampak sebuah dua batu diatas lantai berukuran kurang lebih 4x 4 meter dengan tinggi 50 centimeter, berada di bawah pohon beringin raksasa, setinggi 20-an meter. Suasana mistis kental terasa apalagi kondisi rumput liar yang tumbuh subur dimana mana, menunjukkan keraton Kartasura yang terbengkalai, tidak terawat.
Untuk bagian bangunan lainnya seperti bangunan utama keraton, Gunung Kunci (taman kerajaan), Masjid Agung, Gedong Obat (penyimpanan mesiu), Tangsi Kompeni (barak militer), sudah dibawa ke Keraton Surakarta pada tahun 1745 atau saat pemindahan keraton. Satu-satunya peninggalan yang tersisi adalah dua benteng, Srimanganti dan Baluarti.