Sabtu, 27 Juni 2015

Tugu Jogja, Bukan titik Nol kota Jogja

Tugu Jogja / Tugu Putih
tugu jogja
Tugu yang terletak di perempatan Jalan Jenderal Sudirman dan Jalan Margo Utomo ini, mempunyai nilai simbolis dan merupakan garis yang bersifat magis menghubungkan laut selatan, kraton Jogja dan Gunung Merapi

Pada awalnya tugu Jogja tidak seperti yang kita lihat saat ini, Tugu itu dulu disebut Tugu Golong-Gilig yang tingginya mencapai 25 meter. Bentuk Tugu Golong-Gilig itu, puncaknya berupa golong (bulatan mirip bola) dan bawahnya berbentuk bulat panjang/silindris atau gilig. Tugu Golong-Gilig tersebut melambangkan satu kesatuan tekad cipta, rasa dan karsa menyatunya raja dengan rakyatnya. Ini menggambarkan bersatunya raja dan rakyatnya dalam perjuangan melawan musuh maupun menyatu dalam membentuk pemerintahan yang bebas/merdeka.dibangun oleh HB I.
Pada 10 Juni 1867 terjadi gempa tektonik di Jogja yang meruntuhkan tugu . Tugu itu kemudian diperbaiki oleh Opzichter van Waterstaat/Kepala Dinas Pekerjaan Umum JWS van Brussel di bawah pengawasan Pepatih Dalem Kanjeng Raden Adipati Danurejo V. Tugu yang baru itu diresmikan oleh Sri Sultan HB VII pada tahun 1889. Oleh pemerintah Belanda, tugu itu disebut De Witte Paal (Tugu Putih). Ketinggian bangunan tugu pun sudah tidak sesuai hanya 15 meter.

Tugu jogja kini menjadi salah satu landmark populer di kota Yogyakarta. Banyak para wisatawan ketika berkunjung di Yogyakarta akan meluangkan waktu untuk melihat monumen bersejarah Tugu Jogja. Banyak orang ketika sore hari atau malam hari yang sengaja mendekati tugu Jogja untuk mengabadikan dirinya dengan latar belakang Tugu Jogja. Meskipun posisi tugu Jogja ini berada di tengah-tengah perempatan yang ramai dengan kendaraan, tapi tak menciutkan nyali untuk bisa mengabadikan gambar. Bisa mengambil gambar tugu dari dekat justru menjadi tantangan sendiri dan salah satu yang menjadi daya tarik pengunjung.



Tugu jogja bukanlah titik nol dari kota jogjakarta.



Sumber : www.kotajogja.com
https://id.wikipedia.org

Sabtu, 20 Juni 2015

Embung Nglanggeran, Gunung KIdul, DIY


Embung Nglanggeran  adalah sebuah tempat wisata baru yang terletak di Gunung Kidul . Tepatnya terletak di  Dusun Nglanggeran Wetan, Desa Nglanggeran, Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta.

Embung Nglanggeran ini dulunya merupakan sebuah bukit bernama Gunung Gandu. Kemudian dipotong dan dikeruk untuk dijadikan telaga tadah hujan yang bisa mengairi kebun buah yang ada di sekitarnya. Selain berasal dari air tadah hujan, air embung ini juga berasal dari Sumber Sumurup yang terletak di Gunung Nglanggeran. Karena  berasal dari bukit yang dipotong, maka Embung Nglanggeran merupakan telaga yang berada di puncak bukit. Embung  adalah istilah yang biasa digunakan oleh orang Jawa untuk menyebut telaga buatan yang fungsi utamanya adalah sebagai sarana pengairan. Embung Nglanggeran diresmikan oleh Sultan Hamengku Buwono X pada  19 Februari 2013.






Sore hari merupakan waktu yang tepat untuk berkunjung ke embung nglanggeran ini. Karena cuacanya yang sejuk tidak panas seperti siang hari, kita bisa melihat pemandangan perbukitan karst gunung sewu sekitar embung nglanggeran yang indah. Hal yang ditunggu-tunggu oleh pengunjung saat sore hari adalah pemandangan senjanya. Embung mendadak menjadi berbeda, warna langit senja yang terpantul di permukaan air embung nglanggeran berubah warna, yang hiasanya berwarna seperti putih kental, menjadi kuning kemerahan atau tergantung warna langit saat itu. Saat moment ini banyak pengunjung yang mulai berfoto-foto mengabadikan moment senja. Cobalah naiki bukit di sekitar embung kita bisa melihat senja lebih jelas, bisa melihat pemandangan senja embung nglanggeran dari atas.
sebelum dibangun menjadi embung atau waduk dan diresmikan sebagai objek wisata oleh Sultan HB X tanggal 19 Februari 2013 lalu, dulunya tempat ini adalah sebuah bukit yang diberi nama Gunung Gandu. Bukit tersebut lalu dikeruk hingga menjadi waduk tadah hujan agar bisa mengairi kebun buah milik warga sekitar yang luasnya sekitar 20 Ha. Embung ini selain manampung air hujan, juga menampung air dari sumber Sumurup yang letaknya di Gunung Nglanggeran.






revrensi dari :
http://www.catatannobi.com/
http://voi.rri.co.id/

Sabtu, 09 Mei 2015

Rail Bus Bhatara Kresna Solo-Wonogiri


Bus rel Bathara Kresna adalah bus rel (rail bus) milik PT Kereta Api Indonesia, yang beroperasi di rute Solo Purwosari-Wonogiri dan merupakan proyek kerja sama Pemerintah Kota Surakarta dengan PT KAI, pada saat Kota Surakarta dipimpin oleh Joko Widodo.
 Bus rel ini adalah bus rel kedua di Indonesia setelah bus rel Kertalaya di Sumatera Selatan. Bus rel ini diperkenalkan kepada publik pada tanggal 26 Juli 2011, di Surakarta bersama dengan bus bertingkat pariwisata.

 Bus rel ini mulai beroperasi pada tanggal 5 Agustus 2012 dengan rute Sukoharjo-Solo Purwosari-Yogyakarta Tugu. Karena ada jembatan kereta api yang sedang diperkuat antara Stasiun Pasarnguter-Stasiun Wonogiri, untuk sementara bus rel ini hanya sampai Stasiun Sukoharjo.


 Bus rel ini berhenti beroperasi pada sekitar awal tahun 2013 karena rangkaian bus rel yang sering rusak. Bus rel ini dibawa ke pabrik PT Inka di Madiun untuk diperbaiki.
  Hingga 2015 bus rel ini hanya dikandangkan di dipo lokomotif Solo Balapan sampai pada akhirnya PT KAI memutuskan untuk mengoperasikan kembali bus rel ini. Saat ini bus rel telah beroperasi kembali dengan rute Purwosari-Wonogiri pp dengan rute trayek dua kali sehari.

 PT Kereta Api Indonesia (KAI) menetapkan railbus beroperasi dua kali perjalanan pulang-pergi (PP) setelah sebelumnya diinfokan hanya melayani sekali perjalanan dengan harga tiket Rp4.000.
Pemberangkatan Pertama
Purwosari  -  Wonogiri
Stasiun Berangkat
Purwosari 06.00 WIB
Solo-Kota 06.24 WIB
Sukoharjo 06.57 WIB
Nguter 07.19 WIB
Wonogiri 07.45 WIB
Wonogiri  -  Purwosari
Stasiun Berangkat
Wonogiri 08.00 WIB
Nguter 08.28 WIB
Sukoharjo 08.50 WIB
Solo-Kota 09.23 WIB
Purwosari 09.45 WIB

Pemberangkatan kedua
Purwosari  -  Wonogiri
Stasiun Berangkat
Purwosari 10.00 WIB
Solo-Kota 10.24 WIB
Sukoharjo 10.57 WIB
Nguter 11.19 WIB
Wonogiri 11.45 WIB

Wonogiri  -  Purwosari
Stasiun Berangkat
Wonogiri 12.15 WIB
Nguter 12.43 WI
Sukoharjo 13.05 WIB
Solo-Kota 13.38 WIB
Purwosari 14.00 WIB




















 Jadwal operasi KA Perintis Bathara Kresna, berangkat dari Stasiun Purwosari pukul 06.00 WIB, tiba Wonogiri pukul 07.45 WIB dan pemberangkatan kedua berangkat pukul 10.00 WIB tiba di Wonogiri pukul 11.45 WIB. Sebaliknya dari Wonogiri pukul 08.00 WIB - tiba Solo pukul 09.45 WIB, dan kedua pukul 11.45 WIB- tiba Solo pukul 12.15 WIB.



Jumat, 08 Mei 2015

Masjid Tiban, Wonokerso, Wonogiri

 Masjid Tiban, Wonokerso, Desa Sendangrejo, Kecamatan Baturetno, Kabupaten Wonogiri.
Masjid Tiban, menjadi bangunan masjid tertua di Kabupaten Wonogiri. Letaknya sekitar 40 kilometer arah selatan ibukota Kabupaten Wonogiri. Masjid yang didirikan para wali ini, keberadaannya diyakini lebih tua dibandingkan dengan Masjid Agung Demak. Sebab, lebih  dulu ada sebelum masjid legendaris karya para wali di Demak dibangun.

Dari kisah turun-temurun, saat itu para wali hendak membuat Masjid Agung Demak. Akhirnya para wali mencari ke arah selatan, yaitu ke Wonogiri yang diyakini memiliki kayu jati kualitas terbaik.
Tempat yang mereka tuju sebenarnya adalah tempat yang sekarang diberi nama Hutan Donoloyo yang ada di Kecamatan Slogohimo. Kebetulan wilayah Wonokerso dulunya banyak ditumbuhi pohon jati. Diduga salah arah, para wali pun sembari mencari hutan yang tepat akhirnya membangun masjid ini untuk tempat beribadah sekaligus untuk beristirahat sementara waktu. Saat itu belum ada dusun apalagi desa.

di dalam masjid ini ada mimbar kayu jati yang tidak diplitur / poles dengan ukiran yang sederhana

Hingga kini tak satu pun yang berani mengubah bentuk dasar masjid kecuali hanya merenovasi. Atap masjid yang tadinya berupa sirap, diganti dengan genting oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah (BPP) 2002 lalu
seluruh dinding masjid dan lantai masjid ini terbuat dari kayu jati. setelah kita masuk masjid ini, kita akan kagum begitu sejuknya di dalam masjid ini,

 pintu masuk asjid ini hanya cukup untuk satu orang dan itupun juga harus merunduk


 lebih unik lagi, puncak kutbah berbentuk mahkota raja terbuat dari tanah yang belum menampakan kerusakan, meski di makan usia dan didera panas maupun hujan.
 Menurut legenda, itu dibangun oleh para wali, tatkala mengembara untuk mencari kayu jati pilihan sebagai bahan baku saka guru (tiang induk) Masjid Agung Demak. Konon, para wali singgah di rimba Sembuyan dan sempat membuat masjid itu.
Namun ketika di rimba Sembuyan tak ditemukan kayu jati pilihan, para wali meneruskan perjalanannya menuju ke wilayah Keduwang dan menemukan hutan jati Donoloyo, yang pohonnya dinilai layak dipakai untuk membangun masjid Demak. Sejak ditinggalkan, lambat laun masjid tiban ditelan rimba Sembuyan, dan baru ditemukan lagi oleh Pangeran Sambernyawa.

 Konon, Masjid Tiban Wonokerso, dijadikan maket sebelum menentukan bentuk, wujud, dan prototipe bangunan Majid Agung Demak.