Rawa
Pening adalah danau sekaligus tempat
wisata air di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.
Dengan luas 2.670 hektare
ia menempati wilayah Kecamatan Ambarawa, Bawen,
Tuntang, dan Banyubiru. Rawa Pening terletak di cekungan
terendah lereng Gunung Merbabu, Gunung
Telomoyo, dan Gunung Ungaran.
Legenda rawa
pening
Pada zaman
dahulu di desa Ngasem hidup seorang gadis bernama Endang Sawitri. Penduduk desa
tak seorang pun yang tahu kalau Endang Sawitri punya seorang suami, namun ia
hamil. Tak lama kemudian ia melahirkan dan sangat mengejutkan penduduk karena
yang dilahirkan bukan seorang bayi melainkan seekor Naga. Anehnya Naga itu bisa
berbicara seperti halnya manusia. Naga itu diberi nama Baru Klinting.
Di usia remaja Baru Klinting bertanya kepada ibunya. Bu, “Apakah saya ini juga
mempunyai Ayah?, siapa ayah sebenarnya”. Ibu menjawab, “Ayahmu seorang raja
yang saat ini sedang bertapa di gua lereng gunung Telomaya. Kamu sudah waktunya
mencari dan menemui bapakmu. Saya ijinkan kamu ke sana dan bawalah klintingan
ini sebagai bukti peninggalan ayahmu dulu. Dengan senang hati Baru Klinting
berangkat ke pertapaan Ki Hajar Salokantara sang ayahnya.
Sampai di pertapaan Baru Klinting masuk ke gua dengan hormat, di depan Ki Hajar
dan bertanya, “Apakah benar ini tempat pertapaan Ki Hajar Salokantara?”
Kemudian Ki Hajar menjawab, “Ya, benar”, saya Ki Hajar Salokantara. Dengan
sembah sujud di hadapan Ki Hajar, Baru Klinting mengatakan berarti Ki Hajar
adalah orang tuaku yang sudah lama aku cari-cari, aku anak dari Endang Sawitri
dari desa Ngasem dan ini Klintingan yang konon kata ibu peninggalan Ki Hajar.
Ya benar, dengan bukti Klintingan itu kata Ki Hajar. Namun aku perlu bukti satu
lagi kalau memang kamu anakku coba kamu melingkari gunung Telomoyo ini, kalau
bisa, kamu benar-benar anakku. Ternyata Baru Klinting bisa melingkarinya dan Ki
Hajar mengakui kalau ia benar anaknya. Ki Hajar kemudian memerintahkan Baru
Klinting untuk bertapa di dalam hutan lereng gunung.
.JPG)
Suatu hari
penduduk desa Pathok mau mengadakan pesta sedekah bumi setelah panen usai.
Mereka akan mengadakan pertunjukkan berbagai macam tarian. Untuk memeriahkan
pesta itu rakyat beramai-ramai mencari hewan, namun tidak mendapatkan seekor
hewan pun. Akhirnya mereka menemukan seekor Naga besar yang bertapa langsung
dipotong-potong, dagingnya dibawa pulang untuk pesta. Dalam acara pesta itu
datanglah seorang anak jelmaan Baru Klinting ikut dalam keramaian itu dan ingin
menikmati hidangan. Dengan sikap acuh dan sinis mereka mengusir anak itu dari
pesta dengan paksa karena dianggap pengemis yang menjijikkan dan memalukan.
Dengan sakit hati anak itu pergi meninggalkan pesta. Ia bertemu dengan seorang nenek
janda tua yang baik hati. Diajaknya mampir ke rumahnya. Janda tua itu
memperlakukan anak seperti tamu dihormati dan disiapkan hidangan. Di rumah
janda tua, anak berpesan, Nek, “Kalau terdengar suara gemuruh nenek harus
siapkan lesung, agar selamat!”. Nenek menuruti saran anak itu.
.JPG)
Sesaat
kemudian anak itu kembali ke pesta mencoba ikut dan meminta hidangan dalam
pesta yang diadakan oleh penduduk desa. Namun warga tetap tidak menerima anak
itu, bahkan ditendang agar pergi dari tempat pesta itu. Dengan kemarahan hati
anak itu mengadakan sayembara. Ia menancapkan lidi ke tanah, siapa penduduk
desa ini yang bisa mencabutnya. Tak satu pun warga desa yang mampu mencabut
lidi itu. Akhirnya anak itu sendiri yang mencabutnya, ternyata lubang tancapan
tadi muncul mata air yang deras makin membesar dan menggenangi desa itu,
penduduk semua tenggelam, kecuali Janda Tua yang masuk lesung dan dapat
selamat, semua desa menjadi rawa-rawa,
karena airnya sangat bening, maka disebutlah “Rawa Pening” yang berada di
kabupaten Semarang, Jawa Tengah.
Tak sedikit warga sekitar
rawa yang mengaku pernah melihat ular raksasa, yang dipercaya sebagai Baru
Klinting. “Waktu saya mencari ikan malam hari di rawa, saya sangat kaget ketika
melihat ular berwarna keemasan yang hampir sebesar ban mobil,” ungkap Rohani
(37) seorang pencari ikan di sekitar rawa. Selain Rohani, ada juga Udin (28)
yang juga pernah mengalami hal serupa, “Waktu saya pulang kerja sekitar jam 11
malam, saya melihat ular sebesar pohon kelapa melata di pinggir jalan,”
ujarnya.
Kisah mistis legenda Rawa
Pening masih dipercaya warga sekitar hingga kini. Ular besar yang sering
dilihat warga dipercaya sebagai jelmaan si Baru Klinting. Untuk menghormati
legenda tersebut, warga sekitar masih rutin menggelar acara ritual larung
sesaji setiap setahun sekali.
sumber javablogspot
Danau ini mengalami
pendangkalan yang pesat. Pernah menjadi tempat mencari ikan, kini hampir
seluruh permukaan rawa ini tertutup eceng gondok.
Gulma ini juga sudah menutupi Sungai
Tuntang, terutama di bagian hulu. Usaha mengatasi spesies
invasif ini dilakukan dengan melakukan pembersihan serta pelatihan
pemanfaatan eceng gondok dalam kerajinan, namun tekanan populasi tumbuhan ini
sangat tinggi.
Rawa ini digemari sebagai
obyek wisata pemancingan dan sarana olahraga air. Namun akhir-akhir ini, perahu
nelayan bergerak pun sulit.
Daya tarik yang ada di Rawa Pening:
Wisata Tirta: dengan perahu tradisional, Penghasil enceng gondok sebagai bahan
kerajinan, area pemancingan alam, Sumber mata pencaharian nelayan dan petani
ikan, Obyek fotografi yang sangat mempesona.
Kembali ke danau Rawa Pening, dari danau ini mengalir sebuah sungai
besar yang dibendung oleh pemerintah untuk PLTA. Sungai ini mempunyai 3
jembatan, yang pertama adalah jembatan rel KA peninggalan Belanda
Ambarawa - Tuntang yang terletak di hulu sungai, jembatan utama yang
dilewati jalan raya Solo - Semarang (jembatan utama ini terdiri dari 2
jembatan, jembatan menuju Semarang dengan konstruksi baru dan jembatan
arah solo yang merupakan peninggalan jaman kolonial), dan yang ketiga
adalah jembatan kecil yang terletak diantara jembatan utama dengan
bendungan. Penduduk sekitar sering menyebut sungai ini sebagai
sungai Tuntang karena membelah desa Tuntang. Sedangkan di peta,
teman-teman akan mengenalinya sebagai sungai Demak (cmiiw). Masyarakat
sekitar danau percaya bahwa danau dan sungai ini merupakan bagian dari
kerajaan lelembut yang terdiri dari 3 kerajaan besar. Kerajaan pertama
terletak di danau Rawa Pening itu sendiri yang mana merupakan pusat dari
kerajaan lainnya. Kerajaan kedua terletak diantara jembatan rel kereta
hingga jembatan utama, dan dari jembatan utama hingga bendungan
merupakan kerajaan
ketiga.
Kadang kala pada malam hari terdengar
tabuh gamelan yang cukup keras bergema di sekitar danau dan sungai.
Suara itu mirip suara tabuhan gamelan pewayangan, seakan-akan ada
hajatan yang sedang digelar, padahal tidak ada penduduk desa yang sedang
menggelar hajatan tersebut. Jika kita mencari sumber suara tersebut,
suara tersebut seperti dari seberang sungai atau danau. Tetapi ketika
kita menyeberang, sesampainya di seberang suara tersebut menjadi
seolah-olah berasal dari tempat kita semula.
Suara tabuhan
gamelan itu bagi kami merupakan pertanda, bahwa keesokan harinya pasti
akan ada yang tenggelam. Entah berapa orang yang tenggelam di sana,
tetapi mitos menyebutkan tidak ada orang asli Tuntang yang pernah
menjadi korban. Memang sepanjang pengetahuan ku, belum ada orang asli
Tuntang yang tenggelam dan meninggal di sana.
Pada tahun 1970-an,
seorang sesepuh desa kami yang juga memiliki padepokan silat tenaga
dalam dan pondok pesantren, sebut saja pak T (alm.), mendapat wangsit
dari kakek penghuni kerajaan Rawa Pening berjenggot panjang. Dalam
wangsit yang terus didapatnya selama tiga hari berturut-turut tersebut,
kakek utusan kerajaan Rawa Pening meminta tumbal "pitik sak kandange"
atau dalam bahasa Indonesia ialah ayam sekandangnya. Tentu saja Pak T
bingung, apa yang dimaksud dengan ayam sekandang ini, bahkan ada yang
mengaku melihat iring-iringan pasukan berkuda jaman kerajaan di jembatan
utama.
Berdasarkan keterangan ibu ku yang pada waktu itu masih
berumur 12 tahun, terdengar tabuhan gamelan yang sangat semarak,
seolah-olah Rawa Pening akan mengadakan hajatan besar. Hingga sekitar
tiga hari kemudian, ada dua orang penduduk desa Tuntang yang menaiki bus
Palapa dari Semarang hendak turun di sekitar jembatan utama. Tetapi,
sopir dan kernet menolak untuk menurunkan kedua penumpang itu disana
karena tempat itu lokasinya tepat di tengah pertemuan dua turunan tajam
(kalo anda pernah melalui jalan raya Solo Semarang, pasti melewati jalan
ini. Jadi baik dari arah Solo maupun arah Semarang keduanya menurun
tajam dan bertemu tepat di jembatan utama ini, seperti melewati lembah).
Pada waktu itu memang sudah umum terjadi bis-bis menolak untuk
menurunkan penumpang di sana. Oleh sopir dan kernet bus palapa, dua
orang ini diturunkan di daerah kebun kopi bernama Bawen. Salah seorang
dari penumpang itu adalah kakek tua renta. Ketika hendak diturunkan di
Bawen, kakek itu dengan marah dan lantang berteriak "dadi ngene ya
carane? (jadi begini ya caranya?)". Kemudian terjadilah kecelakaan maut
itu...
Ketika melewati jembatan utama Tuntang, bus Palapa ini
tiba-tiba oleng kemudian masuk ke sungai. Terdengar suara benda berat
jatuh ke air "SPLASH!!". Penduduk yang melihat berteriak
sekencang-kencangnya memberitahu penduduk lain bahwa ada bus yang
terjatuh ke sungai. Tiang-tiang listrik dipukul sekencang-kencangnya
oleh para saksi mata, berharap agar penduduk yang lain segera keluar dan
memberi pertolongan.
Beberapa orang melompat menceburkan diri,
mencoba menolong para penumpang. Tapi apa daya, arus sungai terlampau
kuat dan air terlampau keruh. Arus yang kuat membengkokkan badan bus
sehingga pintu-pintu bus tidak dapat dibuka. Tak ada seorangpun
penumpang yang berhasil diselamatkan pada hari itu. Ternyata, inilah
yang dimaksud dengan "pitik sak kandange" dalam wangsit yang di terima
oleh pak T. Dan malam itu Rawa Pening berpesta, suara gamelan terdengar
hingga beberapa hari kemudian. Sejak saat itu, semua bis bersedia
menurunkan penumpang di sekitar jembatan utama Tuntang.
#RMFC1