Rabu, 08 April 2015

Masjid Tiban, Bendo, Bakalan, Purwantoro, Wonogiri.



Di Dusun Bendo Desa Bakalan Kecamatan Purwantoro, ada bangunan masjid kuno. Tempat beribadahnya umat islam ini, tidak diketahui kapan pertama kali dibangun atau didirikan. Bahkan, nama masjid ini tidak tertulis seperti pada umumnya masjid lain.
Karena itu, warga sekitar memberinya nama sebagai “Masjid Tiban”. Kenapa disebut sebagai masjid tiban?. Karena sampai saat ini tidak diketahui secara pasti sejarah berdirinya masjid itu.


 


.Masjid Tiban ini mulanya berukuran 7 x 7 M2, beratapkan sirap, berdinding kayu jati dan menggunakan mimbar dari kayu jati yang terbungkus kain mori. Seiring kemajuan jaman, pengunjung kian banyak. Maka pada tahun 1997 masjid dibangun. Yaitu dengan menambahi terasnya.
 


Mimbar berbahan kayu berusia ratusan tahun itu dibungkus dengan beberapa lembar kain. 


 
Aroma asap dupa sesekali tertiup masuk ke dalam masjid berukuran 12X12 meter tersebut. Namun, suasana itu tampaknya tidak mengurangi kekhusyukan jamaah dalam menjalankan shalat. 
 




Tempat panyuwunan itu hanya berupa bangunan kecil berukuran sekitar 1X2 meter. Di dalamnya banyak terdapat tumpukan abu sisa pembakaran dupa dan kemenyan. Beberapa macam sesaji ikut menumpuk dalam ruangan kecil yang menghadap utara tersebut. Bagian atap dan gentingnya sudah menghitam karena tertutup jelaga dupa dan kemenyan.

Riwayatnya, konon, saat itu ada seorang keturunan raja bernama Raden Gunung Sari. Raden Gunung Sari ditugaskan ke wilayah Kecamatan Bayat Kabupaten Klaten (saat ini). Raden Gunungsari saat itu akan dinobatkan untuk mengantikan Sunan Bayat. Tetapi Raden Gunung Sari menolaknya. Raden Gunung Sari malah memlih berkelana di hutan belantara Wonogiri.Sampailah Raden Gunung Sari di Dusun Bendo Desa Bakalan Kecamatan Purwantoro. Di sana Raden Gunung Sari mendirikan masjid. Bahkan jenasah Raden Gunungsari dimakamkan di puncak Gunung Bakalan, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Kedung Giyono



Selasa, 17 Februari 2015

Candi Penataran, Blitar, Jawa Timur


 
Candi Penataran terletak di desa Penataran, kecamatan Nglegok, kabupaten Blitar, Jawa Timur, Indonesia. Lokasinya yang terletak di lereng barat daya kaki gunung Kelud, di sebelah utara Blitar, menjadikan area Candi Penataran berhawa sejuk. Candi Penataran adalah kompleks percandian terbesar dan paling terawat di provinsi Jawa Timur, Indonesia. 
Koordinat GPS : 8° 00’59.06″ S 112° 12’34.90″ E
 Sebelum memasuki halaman I pengunjung melewati gerbang masuk yang dihias sepasang arca dan raksasa penjaga pintu (Dwarapala) yang di kalangan masyarakat Blitar di kenal dengan sebutan “Mbah Ghodo” dengan sikap mengancam dan berpahatkan angkat tahun 1242 Saka (1330 M). Di halaman I terdapat dua batur bangunan sejenis pendopo yang dindingnya berhias dan sebuah batur bangunan kecil. Bagian atas ketiganya itu sudah tiada lagi. Adanya umpak-umpak batu memberi petunjuk bahwa bangunan di atasnya dahulu bertiang kayu dan beratap dengan bahan mudah lapuk. Disamping itu terdapat candi yang relatif masih utuh, bentuknya khas gaya candi-candi Jawa Timur dengan atapnya yang berundak menjulang tinggi. Angka tahun 1291 Saka (1269 M), yang terpahat nyata di atas pintu menyebabkan candi ini disebut Candi Angka Tahun. Di halaman I ini juga terdapat sepasang candi kecil.

Pada halaman II kita jumpai lagi sepasang dwarapala yang berukuran lebih kecil. Pada halaman II ini ada dua batur bangunan berbentuk empat persegi panjang dan satu candi yang disebut Candi Naga. Candi ini telah dipugar tahun 1917-1918 dalam keadaan tidak beratap lagi, rupanya juga terbuat dari bahan yang mudah lapuk. Yang istimewa ialah hiasan naga yang melingkari tubuh candi disangga oleh sembilan tokoh Dewata.
Naga ini sangat mungkin perwujudan Sang Hyang Basuki yang mengikat gunung Mandara (giri) mangaduk lautan susu dalam usaha para Dewa untuk mencari tirta amarta (air kehidupan abadi) dalam mitos Samudra-manthana. Karena menonjolnya tokoh naga itulah mengapa candi itu disebut Candi Naga.

Di halaman III terdapat candi induk atau candi utama diantara semua candi yang terdapat di kompleks itu. Keadaan sekarang tinggal bagian kaki saja, namun masih cukup rapi dan anggun berkat pemugaran tahun 1917-1918.

Badannya yang masih menanti unsur-unsur kelengkapannya kini tertimbun di bawah dalam bentuk susunan percobaan. Kaki candi ini menyerupai punden berundak teridir atas tiga teras yang dihubungkan oleh tangga. Pada alas arca penjaga terdapat angka tahun 1239 Saka (1317 M). Candi induk ini kaya sekali akan hiasan berupa arca, relief, miniatur candi, lengkung-lengkung tepian tangga, hiasan sudut dan lain-lain. Reliefnya sendiri bermacam-macam, ada yang rangkaian cerita, panil-panil atau ragam penghias bidang.

Ragam hias yang penting di sana adalah tumpal, binatang, sulur-sulur, medalion, garuda dan lain-lain. Relief manusia dan hewan umumnya tampak samping seperti wayang kulit, gaya seperti itu juga ciri khas periode Jawa Timur. Bagian ini memang asyik untuk dilihat, diresapi dan dihayati sebab semua hiasan ini ternyata kecuali indah juga mengandung makna simbolis-filosofis yang menunjang suasana dan makna candi ini seutuhnya sebagai suatu bangunan suci. Dari halaman III melalui jalan setapak kita dapat turun ke kolam dengan airnya yang jernih, yang pada dindingnya dipahatkan relief.









 Candi Angka Tahun
Candi Angka Tahun berangka tahun 1291 Saka atau 1369 Masehi. Masyarakat Jawa Timur lebih mengenalnya dengan Candi Brawijaya yang merupakan maskot Candi Penataran dan juga digunakan sebagai lambang kodam V Brawijaya. Terkadang ada juga yang menyebutnya Candi Ganesha karena didalam bilik candinya terdapat sebuah arca Ganesha. Lokasi candi berada di sebelah tenggara bangunan pendopo teras dalam jarak sekitar 20 meter. Pintu masuk candi terletak di bagian barat, pipi tangganya berakhir pada bentuk ukel besar dengan hiasan tumpal yang berupa bunga-bungaan dalam susunan segitiga sama kaki. Bagian dalam relung candi terdapat sebuah arca Ganesha dari batu dalam posisi duduk di atas padmasana. Pada bagian atas bilik candi pada batu penutup sungkup terdapat relief “Surya Majapahit” yakni lingkaran yang dikelilingi oleh pancaran sinar yang berupa garis-garis lurus dalam susunan beberapa buah segitiga sama kaki. Relief Surya Majapahit juga ditemukan di beberapa candi yang lain di Jawa Timur ini dalam variasi yang sedikit berbeda sebagai tanda cap kerajaan.

Candi Angka Tahun seperti umumnya bangunan-bangunan candi lain, terdiri dari bagian-bagian yang disebut kaki candi yaitu bagian candi yang bawah, kemudian tubuh candi, terdapat bilik atau kamar candi (gerbagerha) dan kemudian mahkota bangunan yang berbentuk kubus. Pada bagian mahkota terdapat hiasan yang meriah dan pada masing-masing dinding tubuh candi terdapat relung-relung atau ceruk yang berupa pintu semu yang di bagian atasnya terdapat kepala makhluk yang bentuknya menakutkan. Kepala makhluk seperti ini disebut kepala kala yang di Jawa Timur sering disebut Banaspati yang berarti raja hutan atau juga bisa disebut singa atau harimau. Penempatan kepala kala di atas relung candi dimaksudkan untuk menakut-nakuti roh jahat agar tidak berani masuk komplek percandian. Sementara itu pada sekeliling bangunan ini terdapat sisa-sisa tembok bata yang tinggal bagian dasarnya dengan pintu masuk di sisi barat laut. Bangunan-bangunan di halaman pertama ini seluruhnya terbuat dari batu andesit. Kecuali dua buah pondasi dari bata berdenah persegi panjang, terletak di sebelah timur laut candi angka tahun ini. Di sebelah kiri candi angka tahun terdapat arca wanita Rajapatni.


Selasa, 27 Januari 2015

Misteri Rawa Pening, Ambarawa, Kab. Semarang, Jawa Tengah




Rawa Pening adalah danau sekaligus tempat wisata air di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Dengan luas 2.670 hektare ia menempati wilayah Kecamatan Ambarawa, Bawen, Tuntang, dan Banyubiru. Rawa Pening terletak di cekungan terendah lereng Gunung Merbabu, Gunung Telomoyo, dan Gunung Ungaran.
 
Legenda rawa pening
Pada zaman dahulu di desa Ngasem hidup seorang gadis bernama Endang Sawitri. Penduduk desa tak seorang pun yang tahu kalau Endang Sawitri punya seorang suami, namun ia hamil. Tak lama kemudian ia melahirkan dan sangat mengejutkan penduduk karena yang dilahirkan bukan seorang bayi melainkan seekor Naga. Anehnya Naga itu bisa berbicara seperti halnya manusia. Naga itu diberi nama Baru Klinting.

Di usia remaja Baru Klinting bertanya kepada ibunya. Bu, “Apakah saya ini juga mempunyai Ayah?, siapa ayah sebenarnya”. Ibu menjawab, “Ayahmu seorang raja yang saat ini sedang bertapa di gua lereng gunung Telomaya. Kamu sudah waktunya mencari dan menemui bapakmu. Saya ijinkan kamu ke sana dan bawalah klintingan ini sebagai bukti peninggalan ayahmu dulu. Dengan senang hati Baru Klinting berangkat ke pertapaan Ki Hajar Salokantara sang ayahnya.

Sampai di pertapaan Baru Klinting masuk ke gua dengan hormat, di depan Ki Hajar dan bertanya, “Apakah benar ini tempat pertapaan Ki Hajar Salokantara?” Kemudian Ki Hajar menjawab, “Ya, benar”, saya Ki Hajar Salokantara. Dengan sembah sujud di hadapan Ki Hajar, Baru Klinting mengatakan berarti Ki Hajar adalah orang tuaku yang sudah lama aku cari-cari, aku anak dari Endang Sawitri dari desa Ngasem dan ini Klintingan yang konon kata ibu peninggalan Ki Hajar. Ya benar, dengan bukti Klintingan itu kata Ki Hajar. Namun aku perlu bukti satu lagi kalau memang kamu anakku coba kamu melingkari gunung Telomoyo ini, kalau bisa, kamu benar-benar anakku. Ternyata Baru Klinting bisa melingkarinya dan Ki Hajar mengakui kalau ia benar anaknya. Ki Hajar kemudian memerintahkan Baru Klinting untuk bertapa di dalam hutan lereng gunung.
 
Suatu hari penduduk desa Pathok mau mengadakan pesta sedekah bumi setelah panen usai. Mereka akan mengadakan pertunjukkan berbagai macam tarian. Untuk memeriahkan pesta itu rakyat beramai-ramai mencari hewan, namun tidak mendapatkan seekor hewan pun. Akhirnya mereka menemukan seekor Naga besar yang bertapa langsung dipotong-potong, dagingnya dibawa pulang untuk pesta. Dalam acara pesta itu datanglah seorang anak jelmaan Baru Klinting ikut dalam keramaian itu dan ingin menikmati hidangan. Dengan sikap acuh dan sinis mereka mengusir anak itu dari pesta dengan paksa karena dianggap pengemis yang menjijikkan dan memalukan. Dengan sakit hati anak itu pergi meninggalkan pesta. Ia bertemu dengan seorang nenek janda tua yang baik hati. Diajaknya mampir ke rumahnya. Janda tua itu memperlakukan anak seperti tamu dihormati dan disiapkan hidangan. Di rumah janda tua, anak berpesan, Nek, “Kalau terdengar suara gemuruh nenek harus siapkan lesung, agar selamat!”. Nenek menuruti saran anak itu.
 
Sesaat kemudian anak itu kembali ke pesta mencoba ikut dan meminta hidangan dalam pesta yang diadakan oleh penduduk desa. Namun warga tetap tidak menerima anak itu, bahkan ditendang agar pergi dari tempat pesta itu. Dengan kemarahan hati anak itu mengadakan sayembara. Ia menancapkan lidi ke tanah, siapa penduduk desa ini yang bisa mencabutnya. Tak satu pun warga desa yang mampu mencabut lidi itu. Akhirnya anak itu sendiri yang mencabutnya, ternyata lubang tancapan tadi muncul mata air yang deras makin membesar dan menggenangi desa itu, penduduk semua tenggelam, kecuali Janda Tua yang masuk lesung dan dapat selamat, semua desa menjadi rawa-rawa,

karena airnya sangat bening, maka disebutlah “Rawa Pening” yang berada di kabupaten Semarang, Jawa Tengah.

 
Tak sedikit warga sekitar rawa yang mengaku pernah melihat ular raksasa, yang dipercaya sebagai Baru Klinting. “Waktu saya mencari ikan malam hari di rawa, saya sangat kaget ketika melihat ular berwarna keemasan yang hampir sebesar ban mobil,” ungkap Rohani (37) seorang pencari ikan di sekitar rawa. Selain Rohani, ada juga Udin (28) yang juga pernah mengalami hal serupa, “Waktu saya pulang kerja sekitar jam 11 malam, saya melihat ular sebesar pohon kelapa melata di pinggir jalan,” ujarnya.
Kisah mistis legenda Rawa Pening masih dipercaya warga sekitar hingga kini. Ular besar yang sering dilihat warga dipercaya sebagai jelmaan si Baru Klinting. Untuk menghormati legenda tersebut, warga sekitar masih rutin menggelar acara ritual larung sesaji setiap setahun sekali.
sumber javablogspot


Danau ini mengalami pendangkalan yang pesat. Pernah menjadi tempat mencari ikan, kini hampir seluruh permukaan rawa ini tertutup eceng gondok. Gulma ini juga sudah menutupi Sungai Tuntang, terutama di bagian hulu. Usaha mengatasi spesies invasif ini dilakukan dengan melakukan pembersihan serta pelatihan pemanfaatan eceng gondok dalam kerajinan, namun tekanan populasi tumbuhan ini sangat tinggi.
Rawa ini digemari sebagai obyek wisata pemancingan dan sarana olahraga air. Namun akhir-akhir ini, perahu nelayan bergerak pun sulit.
 
Daya tarik yang ada di Rawa Pening: Wisata Tirta: dengan perahu tradisional, Penghasil enceng gondok sebagai bahan kerajinan, area pemancingan alam, Sumber mata pencaharian nelayan dan petani ikan, Obyek fotografi yang sangat mempesona.


Kembali ke danau Rawa Pening, dari danau ini mengalir sebuah sungai besar yang dibendung oleh pemerintah untuk PLTA. Sungai ini mempunyai 3 jembatan, yang pertama adalah jembatan rel KA peninggalan Belanda Ambarawa - Tuntang yang terletak di hulu sungai, jembatan utama yang dilewati jalan raya Solo - Semarang (jembatan utama ini terdiri dari 2 jembatan, jembatan menuju Semarang dengan konstruksi baru dan jembatan arah solo yang merupakan peninggalan jaman kolonial), dan yang ketiga adalah jembatan kecil yang terletak diantara jembatan utama dengan bendungan. Penduduk sekitar sering menyebut sungai ini sebagai sungai Tuntang karena membelah desa Tuntang. Sedangkan di peta, teman-teman akan mengenalinya sebagai sungai Demak (cmiiw). Masyarakat sekitar danau percaya bahwa danau dan sungai ini merupakan bagian dari kerajaan lelembut yang terdiri dari 3 kerajaan besar. Kerajaan pertama terletak di danau Rawa Pening itu sendiri yang mana merupakan pusat dari kerajaan lainnya. Kerajaan kedua terletak diantara jembatan rel kereta hingga jembatan utama, dan dari jembatan utama hingga bendungan merupakan kerajaan
ketiga.

Kadang kala pada malam hari terdengar tabuh gamelan yang cukup keras bergema di sekitar danau dan sungai. Suara itu mirip suara tabuhan gamelan pewayangan, seakan-akan ada hajatan yang sedang digelar, padahal tidak ada penduduk desa yang sedang menggelar hajatan tersebut. Jika kita mencari sumber suara tersebut, suara tersebut seperti dari seberang sungai atau danau. Tetapi ketika kita menyeberang, sesampainya di seberang suara tersebut menjadi seolah-olah berasal dari tempat kita semula.
Suara tabuhan gamelan itu bagi kami merupakan pertanda, bahwa keesokan harinya pasti akan ada yang tenggelam. Entah berapa orang yang tenggelam di sana, tetapi mitos menyebutkan tidak ada orang asli Tuntang yang pernah menjadi korban. Memang sepanjang pengetahuan ku, belum ada orang asli Tuntang yang tenggelam dan meninggal di sana.
Pada tahun 1970-an, seorang sesepuh desa kami yang juga memiliki padepokan silat tenaga dalam dan pondok pesantren, sebut saja pak T (alm.), mendapat wangsit dari kakek penghuni kerajaan Rawa Pening berjenggot panjang. Dalam wangsit yang terus didapatnya selama tiga hari berturut-turut tersebut, kakek utusan kerajaan Rawa Pening meminta tumbal "pitik sak kandange" atau dalam bahasa Indonesia ialah ayam sekandangnya. Tentu saja Pak T bingung, apa yang dimaksud dengan ayam sekandang ini, bahkan ada yang mengaku melihat iring-iringan pasukan berkuda jaman kerajaan di jembatan utama.
Berdasarkan keterangan ibu ku yang pada waktu itu masih berumur 12 tahun, terdengar tabuhan gamelan yang sangat semarak, seolah-olah Rawa Pening akan mengadakan hajatan besar. Hingga sekitar tiga hari kemudian, ada dua orang penduduk desa Tuntang yang menaiki bus Palapa dari Semarang hendak turun di sekitar jembatan utama. Tetapi, sopir dan kernet menolak untuk menurunkan kedua penumpang itu disana karena tempat itu lokasinya tepat di tengah pertemuan dua turunan tajam (kalo anda pernah melalui jalan raya Solo Semarang, pasti melewati jalan ini. Jadi baik dari arah Solo maupun arah Semarang keduanya menurun tajam dan bertemu tepat di jembatan utama ini, seperti melewati lembah).
Pada waktu itu memang sudah umum terjadi bis-bis menolak untuk menurunkan penumpang di sana. Oleh sopir dan kernet bus palapa, dua orang ini diturunkan di daerah kebun kopi bernama Bawen. Salah seorang dari penumpang itu adalah kakek tua renta. Ketika hendak diturunkan di Bawen, kakek itu dengan marah dan lantang berteriak "dadi ngene ya carane? (jadi begini ya caranya?)". Kemudian terjadilah kecelakaan maut itu...
Ketika melewati jembatan utama Tuntang, bus Palapa ini tiba-tiba oleng kemudian masuk ke sungai. Terdengar suara benda berat jatuh ke air "SPLASH!!". Penduduk yang melihat berteriak sekencang-kencangnya memberitahu penduduk lain bahwa ada bus yang terjatuh ke sungai. Tiang-tiang listrik dipukul sekencang-kencangnya oleh para saksi mata, berharap agar penduduk yang lain segera keluar dan memberi pertolongan.
Beberapa orang melompat menceburkan diri, mencoba menolong para penumpang. Tapi apa daya, arus sungai terlampau kuat dan air terlampau keruh. Arus yang kuat membengkokkan badan bus sehingga pintu-pintu bus tidak dapat dibuka. Tak ada seorangpun penumpang yang berhasil diselamatkan pada hari itu. Ternyata, inilah yang dimaksud dengan "pitik sak kandange" dalam wangsit yang di terima oleh pak T. Dan malam itu Rawa Pening berpesta, suara gamelan terdengar hingga beberapa hari kemudian. Sejak saat itu, semua bis bersedia menurunkan penumpang di sekitar jembatan utama Tuntang.
‪#‎RMFC1‬