Sabtu, 11 April 2015

hutan donoloyo, Slogohimo, Wonogiri

Hutan Donoloyo adalah Belantara hutan jati di Desa Watusono, Kecamatan Slogohimo, 40 kilometer dari kota Wonogiri, Jawa Tengah, ternyata menyimpan sebuah kisah sejarah. Di dalam hutan jati yang disebut dengan Alas Donoloyo ini terdapat sisa-sisa pohon jati yang tumbuh pada masa Kerajaan Majapahit, 700 tahun yang lalu.



Nama Donoloyo merupakan nama pendiri desa di kawasan tersebut, yakni Ki Ageng Donoloyo, anggota laskar Kerajaan Majapahit saat dipimpin Raja Airlangga. Karena ingin mengabdi pada Kerajaan Majapahit, Ki Ageng Donoloyo yang tertinggal ketika mengikuti perjalanan Raja Airlangga, memutuskan untuk menetap di tempat itu, serta menanam pohon jati, yang ia niatkan bisa dimanfaatkan Kerajaan Majapahit.

Sekian ratus tahun berlalu, kini kelestarian Alas Donoloyo masih dijaga oleh keturunan Ki Ageng Donoloyo. Setiap hari, Dikromo, sang juru kunci hutan, ditemani istrinya, membersihkan kawasan tersebut, khususnya areal Punden. Apalagi menjelang Hari Jumat Pon dan Jumat Kliwon, karena pada hari itu banyak masyarakat datang memberikan sesajen. Pohon jati peninggalan Ki Ageng Donoloyo, hanya tersisa di areal Punden.

Konon, banyak peristiwa aneh terjadi menyangkut Alas Donoloyo. Seperti cerita awal mula digunakannya jati Donoloyo untuk pembangunan Masjid Demak, yakni akibat bayang-bayang ujung pohon jati Donoloyo yang kelihatan di Demak, meskipun jaraknya mencapai puluhan kilometer. Ki Ageng Donoloyo sendiri, dipercaya masih berada di Alas Donoloyo. Karena dari dulu hingga kini, belum diketahui dimana letak makam sang laskar setia majapahit ini.

Jati Donoloyo, rata-rata mempunyai panjang sepuluh meter, dengan garis tengah satu meter, sehingga dinilai sebagai kayu jati dengan kualitas terbaik yang pernah ada. Tak heran jika Masjid Demak serta Keratonan Surakarta, dibangun dari kayu jati Donoloyo.







Saat ini dengan areal seluas lima hektar, alas Jati Donoloyo mulai menunjukkan tanda-tanda kepunahan. Kayu-kayu jati yang terlihat kokoh, sesungguhnya sudah lapuk dimakan zaman.

Kelihatannya, tinggal menunggu waktu, Alas Donoloyo yang menjadi bukti kesetiaan seorang laskar di era Kerajaan Majapahit, kelak hanya tinggal legenda tak berbekas.

Hingga saat ini, Alas Donoloyo masih dikeramatkan masyarakat sekitar, khususnya Kawasan Punden, letak pohon jati pertama ditanam dan dipotong untuk pembangunan Masjid Demak.

Rabu, 08 April 2015

Masjid Tiban, Bendo, Bakalan, Purwantoro, Wonogiri.



Di Dusun Bendo Desa Bakalan Kecamatan Purwantoro, ada bangunan masjid kuno. Tempat beribadahnya umat islam ini, tidak diketahui kapan pertama kali dibangun atau didirikan. Bahkan, nama masjid ini tidak tertulis seperti pada umumnya masjid lain.
Karena itu, warga sekitar memberinya nama sebagai “Masjid Tiban”. Kenapa disebut sebagai masjid tiban?. Karena sampai saat ini tidak diketahui secara pasti sejarah berdirinya masjid itu.


 


.Masjid Tiban ini mulanya berukuran 7 x 7 M2, beratapkan sirap, berdinding kayu jati dan menggunakan mimbar dari kayu jati yang terbungkus kain mori. Seiring kemajuan jaman, pengunjung kian banyak. Maka pada tahun 1997 masjid dibangun. Yaitu dengan menambahi terasnya.
 


Mimbar berbahan kayu berusia ratusan tahun itu dibungkus dengan beberapa lembar kain. 


 
Aroma asap dupa sesekali tertiup masuk ke dalam masjid berukuran 12X12 meter tersebut. Namun, suasana itu tampaknya tidak mengurangi kekhusyukan jamaah dalam menjalankan shalat. 
 




Tempat panyuwunan itu hanya berupa bangunan kecil berukuran sekitar 1X2 meter. Di dalamnya banyak terdapat tumpukan abu sisa pembakaran dupa dan kemenyan. Beberapa macam sesaji ikut menumpuk dalam ruangan kecil yang menghadap utara tersebut. Bagian atap dan gentingnya sudah menghitam karena tertutup jelaga dupa dan kemenyan.

Riwayatnya, konon, saat itu ada seorang keturunan raja bernama Raden Gunung Sari. Raden Gunung Sari ditugaskan ke wilayah Kecamatan Bayat Kabupaten Klaten (saat ini). Raden Gunungsari saat itu akan dinobatkan untuk mengantikan Sunan Bayat. Tetapi Raden Gunung Sari menolaknya. Raden Gunung Sari malah memlih berkelana di hutan belantara Wonogiri.Sampailah Raden Gunung Sari di Dusun Bendo Desa Bakalan Kecamatan Purwantoro. Di sana Raden Gunung Sari mendirikan masjid. Bahkan jenasah Raden Gunungsari dimakamkan di puncak Gunung Bakalan, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Kedung Giyono



Selasa, 17 Februari 2015

Candi Penataran, Blitar, Jawa Timur


 
Candi Penataran terletak di desa Penataran, kecamatan Nglegok, kabupaten Blitar, Jawa Timur, Indonesia. Lokasinya yang terletak di lereng barat daya kaki gunung Kelud, di sebelah utara Blitar, menjadikan area Candi Penataran berhawa sejuk. Candi Penataran adalah kompleks percandian terbesar dan paling terawat di provinsi Jawa Timur, Indonesia. 
Koordinat GPS : 8° 00’59.06″ S 112° 12’34.90″ E
 Sebelum memasuki halaman I pengunjung melewati gerbang masuk yang dihias sepasang arca dan raksasa penjaga pintu (Dwarapala) yang di kalangan masyarakat Blitar di kenal dengan sebutan “Mbah Ghodo” dengan sikap mengancam dan berpahatkan angkat tahun 1242 Saka (1330 M). Di halaman I terdapat dua batur bangunan sejenis pendopo yang dindingnya berhias dan sebuah batur bangunan kecil. Bagian atas ketiganya itu sudah tiada lagi. Adanya umpak-umpak batu memberi petunjuk bahwa bangunan di atasnya dahulu bertiang kayu dan beratap dengan bahan mudah lapuk. Disamping itu terdapat candi yang relatif masih utuh, bentuknya khas gaya candi-candi Jawa Timur dengan atapnya yang berundak menjulang tinggi. Angka tahun 1291 Saka (1269 M), yang terpahat nyata di atas pintu menyebabkan candi ini disebut Candi Angka Tahun. Di halaman I ini juga terdapat sepasang candi kecil.

Pada halaman II kita jumpai lagi sepasang dwarapala yang berukuran lebih kecil. Pada halaman II ini ada dua batur bangunan berbentuk empat persegi panjang dan satu candi yang disebut Candi Naga. Candi ini telah dipugar tahun 1917-1918 dalam keadaan tidak beratap lagi, rupanya juga terbuat dari bahan yang mudah lapuk. Yang istimewa ialah hiasan naga yang melingkari tubuh candi disangga oleh sembilan tokoh Dewata.
Naga ini sangat mungkin perwujudan Sang Hyang Basuki yang mengikat gunung Mandara (giri) mangaduk lautan susu dalam usaha para Dewa untuk mencari tirta amarta (air kehidupan abadi) dalam mitos Samudra-manthana. Karena menonjolnya tokoh naga itulah mengapa candi itu disebut Candi Naga.

Di halaman III terdapat candi induk atau candi utama diantara semua candi yang terdapat di kompleks itu. Keadaan sekarang tinggal bagian kaki saja, namun masih cukup rapi dan anggun berkat pemugaran tahun 1917-1918.

Badannya yang masih menanti unsur-unsur kelengkapannya kini tertimbun di bawah dalam bentuk susunan percobaan. Kaki candi ini menyerupai punden berundak teridir atas tiga teras yang dihubungkan oleh tangga. Pada alas arca penjaga terdapat angka tahun 1239 Saka (1317 M). Candi induk ini kaya sekali akan hiasan berupa arca, relief, miniatur candi, lengkung-lengkung tepian tangga, hiasan sudut dan lain-lain. Reliefnya sendiri bermacam-macam, ada yang rangkaian cerita, panil-panil atau ragam penghias bidang.

Ragam hias yang penting di sana adalah tumpal, binatang, sulur-sulur, medalion, garuda dan lain-lain. Relief manusia dan hewan umumnya tampak samping seperti wayang kulit, gaya seperti itu juga ciri khas periode Jawa Timur. Bagian ini memang asyik untuk dilihat, diresapi dan dihayati sebab semua hiasan ini ternyata kecuali indah juga mengandung makna simbolis-filosofis yang menunjang suasana dan makna candi ini seutuhnya sebagai suatu bangunan suci. Dari halaman III melalui jalan setapak kita dapat turun ke kolam dengan airnya yang jernih, yang pada dindingnya dipahatkan relief.









 Candi Angka Tahun
Candi Angka Tahun berangka tahun 1291 Saka atau 1369 Masehi. Masyarakat Jawa Timur lebih mengenalnya dengan Candi Brawijaya yang merupakan maskot Candi Penataran dan juga digunakan sebagai lambang kodam V Brawijaya. Terkadang ada juga yang menyebutnya Candi Ganesha karena didalam bilik candinya terdapat sebuah arca Ganesha. Lokasi candi berada di sebelah tenggara bangunan pendopo teras dalam jarak sekitar 20 meter. Pintu masuk candi terletak di bagian barat, pipi tangganya berakhir pada bentuk ukel besar dengan hiasan tumpal yang berupa bunga-bungaan dalam susunan segitiga sama kaki. Bagian dalam relung candi terdapat sebuah arca Ganesha dari batu dalam posisi duduk di atas padmasana. Pada bagian atas bilik candi pada batu penutup sungkup terdapat relief “Surya Majapahit” yakni lingkaran yang dikelilingi oleh pancaran sinar yang berupa garis-garis lurus dalam susunan beberapa buah segitiga sama kaki. Relief Surya Majapahit juga ditemukan di beberapa candi yang lain di Jawa Timur ini dalam variasi yang sedikit berbeda sebagai tanda cap kerajaan.

Candi Angka Tahun seperti umumnya bangunan-bangunan candi lain, terdiri dari bagian-bagian yang disebut kaki candi yaitu bagian candi yang bawah, kemudian tubuh candi, terdapat bilik atau kamar candi (gerbagerha) dan kemudian mahkota bangunan yang berbentuk kubus. Pada bagian mahkota terdapat hiasan yang meriah dan pada masing-masing dinding tubuh candi terdapat relung-relung atau ceruk yang berupa pintu semu yang di bagian atasnya terdapat kepala makhluk yang bentuknya menakutkan. Kepala makhluk seperti ini disebut kepala kala yang di Jawa Timur sering disebut Banaspati yang berarti raja hutan atau juga bisa disebut singa atau harimau. Penempatan kepala kala di atas relung candi dimaksudkan untuk menakut-nakuti roh jahat agar tidak berani masuk komplek percandian. Sementara itu pada sekeliling bangunan ini terdapat sisa-sisa tembok bata yang tinggal bagian dasarnya dengan pintu masuk di sisi barat laut. Bangunan-bangunan di halaman pertama ini seluruhnya terbuat dari batu andesit. Kecuali dua buah pondasi dari bata berdenah persegi panjang, terletak di sebelah timur laut candi angka tahun ini. Di sebelah kiri candi angka tahun terdapat arca wanita Rajapatni.