Kamis, 13 Juli 2017

KRATON KASUNANAN KARTOSURO

Tidak banyak yang tahu bahwa di daerah Kartasura yang merupakan salah satu kecamatan di Sukoharjo dulunya merupakan Kerajaan Mataram Islam yang dikenal dengan sebutan Kraton Mataram Kartasura karena terletak di Kartasura. Daerah ini pernah menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Mataram Islam setelah terjadi pemindahan pusat pemerintahan dari Kraton Mataram Pleret.
 Tidak sulit menemukan keberadaan Keraton Kartasura. Berada di bagian barat kota Solo, dan hanya 15 menit perjalanan menggunakan kendaraan. Sekitar 300 meter ke selatan dari jalan utama Slamet Riyadi Kartasura, benteng yang dulu melindungi keluarga kerajaan dari serbuan pemberontak, sudah terlihat. Benteng setinggi 4 meter dengan tebal 2 meter, saat ini berada di tengah perkampungan warga.
Keraton Kartasura memiliki dua benteng. Benteng bagian dalam yaitu benteng Srimanganti, dan benteng bagian luar adalah benteng Baluarti. Namun untuk Baluarti hanya tinggal 100 meter saja yang tersisa, karena sebagian besar digunakan sebagai pemukiman penduduk. Untuk benteng Srimanganti, masih tegak berdiri meski di beberapa bagian mengalami kerusakan.
Benteng Srimanganti masih tampak kokoh berdiri mengelilingi lahan seluas 2,5 ha yang tak lain adalah bekas lokasi keraton Kartasura. Terletak di Desa Krapyak, Kecamatan Kartasura, Sukoharjo, Jawa Tengah, keraton ini menjadi bagian penting dari sejarah kejayaan dinasti Kerajaan Mataram Islam di Jawa.
Benteng Srimanganti tersebut menjadi saksi bisu Keraton Kartasura yang berdiri pada tahun 1680-1742, oleh Amangkurat II. Berawal dari pemberontakan Trunajaya dari Madura, pada tahun 1677, yang menyerbu di Keraton Mataram lama yang terletak di Plered. Saat itu Adipati Anom yang selanjutnya bergelar Amangkurat II, melarikan diri ke hutan Wanakerta, dan mendirikan Keraton Kartasura. Setelah itu, pada tahun 1681, Amangkurat II yang dibantu VOC pun memenangkan perang dengan Kerajaan Mataram dimana Pangeran Puger yang bertahta di Kerajaan Mataram Plered. Akhirnya, Mataram berhasil dikuasai Amangkurat II.
Setelah itu, perang dan pemberontakan menghiasai kisah dari Kraton Kartasura, dan yang paling terkenal terjadi pemberontakan mas Garendi pada tahun 1742 yang dibantu etnis Tionghoa menyerbu dan menghancurkan Keraton Kartasura. Saat itu, Pakubuwono II yang bertahta, melarikan diri ke Ponorogo. Pada tahun 1743, Pakubuwono II kembali ke Kartasura karena pemberontak sudah dikalahkan, namun kondisi keraton yang porak poranda dan rusak, membuat dirinya memilih untuk memindahkan keraton Kartasura ke Sala yang saat ini dikenal dengan Surakarta. Pakubuwana II menempati Kraton Surakarta pada tahun 1745.
Lobang besar berdiameter dua meter di bagian utara benteng, diyakini dilakukan oleh pemberontak mas Garendi yang menerobos ke dalam keraton dengan menjebol benteng bersama sama anak buahnya. Meskipun lobang tersebut sudah ditutup oleng pengelola, namun warga sekitar menganggap awal kehancuran Keraton Kartasura dari lobang yang dibuat para pemberontak saat itu. Warga pun menganggap lokasi tersebut wingit atau angker.
Salah satu bangunan yang sering didatangi adalah bangunan utama keraton berada sebelah timur bagian dalam keraton. Tampak sebuah dua batu diatas lantai berukuran kurang lebih 4x 4 meter dengan tinggi 50 centimeter, berada di bawah pohon beringin raksasa, setinggi 20-an meter. Suasana mistis kental terasa apalagi kondisi rumput liar yang tumbuh subur dimana mana, menunjukkan keraton Kartasura yang terbengkalai, tidak terawat.
Untuk bagian bangunan lainnya seperti bangunan utama keraton, Gunung Kunci (taman kerajaan), Masjid Agung, Gedong Obat (penyimpanan mesiu), Tangsi Kompeni (barak militer), sudah dibawa ke Keraton Surakarta pada tahun 1745 atau saat pemindahan keraton. Satu-satunya peninggalan yang tersisi adalah dua benteng, Srimanganti dan Baluarti.



Rabu, 31 Mei 2017

Waduk Krisak, Selogiri, Wonogiri

Waduk Ini Terletak di kecamatan selogiri Kelurahan/Desa Singodutan (Kodepos : 57652) tepatnya di sebelah terminal argopuro di wonogiri atau di belakang pasar krisak sebenarnya tempat ini bukanlah tempat rekreasi atau tempat wisata yang mempunyai daya tarik warga, namun keindahan waduk ini sungguh sangat bersih dan asri, oleh karena itu waduk ini sering di buat berkumpulnya para anak muda atau berkumpulnya para pengunjung dari luar daerah sekitar...dan tepat ini sangat cocok untuk tempat berfoto ria, apalagi pada saat pagi dan sore hari, oleh karena itu waduk indah bisa di bilang tempat wisata tersembunyi yang ada di wonogiri, kita juga bisa dapat memancing ikan di waduk tersebut  


Usia waduk yang dibangun sejak 1942. Kalau dulu area sawah yang terairi mencapai 874 hektare di tujuh desa, tapi saat ini hanya sekitar 300 hektare, Akibat tebalnya endapan lumpur yang diperkirakan mencapai 5 meter

walaupun terbilang kecil, tetapi waduk ini juga bisa bermanfaat sangat besar dan juga bisa berakibat fatal bila tanggul ini jebol. Sedangkan dari peta banjir yang disusun, jika waduk ambrol maka tujuh dusun/lingkungan di empat desa/kelurahan berisiko tergenang.






http://fidiksaputra1922.blogspot.co.id
http://joglosemar.co 

Rabu, 29 Maret 2017

BUKIT CUMBRI WONOGIRI



Bukit Cumbri merupakan satu dari ribuan bukit yang ada di Indonesia. Namanya semakin dikenal sejak kemunculannya di media sosial. Karena memang kecanggihan media sosial terbukti ampuh untuk mengenalkan dan menaikkan popularitas dari suatu lokasi. Keindahan panoramanya yang bak surga di dunia, menjadikan Bukit Cumbri tak salah jika dijadikan destinasi buruan bagi para penikmat traveling. Iming iming yang diberikan tempat wisata yang berada di pinggir kota Wonogiri ini memang sangat menggiurkan. Berada di ketinggian 638 mdpl menjadikan Bukit Cumbri memiliki keistimewaan tersendiri. Dari ketinggoan ini akan disuguhi pemandangan bagai berdiri di atas awan.


Bukit Cumbri sendiri terletak di antara perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur, yakni tepatnya di Desa Kepyar, Kecamatan Purwantoro, Kabupaten Wonogiri dan juga masuk di Desa Pager Ukir, Kecamatan Sampung, Kota Ponorogo. Ya, memang Bukit Cumbri ini berada di lokasi yang merupakan daerah yang terbagi ke dalam 2 wilayah, yakni Wonogiri dan Ponorogo.


rute yang harus lewati yakni menyusuri jalan Wonogiri menuju Ponorogo. Tak perlu khawatir karena jalanannya sudah lumayan bagus, hanya saja harus pastikan kendaraan dalam kondisi prima. Namun , seperti halnya daerah perbukitan, jalanan menuju Bukit Cumbri ini lumayan memiliki tanjakan yang menantang, sehingga kondisi tubuh harus dalam keadaan fit. Dari tempat parkir kendaraan hingga sampai ke puncak Cumbri di tempuh dengan berjalan kaki yang berute lumayan menanjak. Bagi yang sudah terbiasa hiking, tidak akan bermasalah. Dan, bagi yang tergolong pemula, trek menuju Bukit Cumbri bisa dijadikan tempat “latihan” hiking.


Setelah melakukan trekking hampir 1 jam, maka kini didepanmu akan terhampar sebuah puncak yang indah bernama puncak Cumbri.  Di Bukit Cumbri ini memiliki 2 puncak yang menawan, yang satu menghadap kebarat dan memiliki ketinggian yang lebih rendah dari pada yang menghadap ke arah timur. Berada di puncak Cumbri ini kita akan disuguhi pemandangan yang menawan. Dari puncak ini kita seolah sedang berada di atas awan dan bisa melihat kota Wonogiri lengkap beserta bukit bukit lain yang ada di sekitarnya. Namun keamanan harus tetap menjadi prioritas, selama berada di sini kita harus ekstra berhati hati. Hal ini karena Puncak Cumbri memiliki struktur tanah yang tidak rata dimana banyak batuannya yang lebih tinggi dari yang lain, bahkan di sisi kanan dan kirinya cenderung curam.





http://dolandolen.com




Selasa, 07 Maret 2017

APRI (MARKAS BESAR PANGLIMA JENDRAL SUDIRMAN)

Kabupaten Pacitan, Provinsi Jawa Timur, kini mempunyai obyek wisata sejarah berkelas internasional, menyusul diresmikannya Pengembangan dan Revitalisasi Kawasan Wisata Sejarah Panglima Besar Jenderal Besar Soedirman, Senin (15/12) petang di Pakis Baru, Kecamatan Nawangan. 
Di kawasan wisata sejarah ini, salah satu yang menarik adalah sebuah rumah yang dijadikan Markas Gerilya oleh Panglima Besar Jenderal Besar Soedirman. Rumah milik Karsosoemito, seorang bayan di dukuh sobo ini, selama 3 bulan 28 hari (107 hari), sejak tanggal 1 April 1949 sampai 7 Juli 1949, digunakan sebagai markas oleh Panglima Besar Jenderal Besar Soedirman. 

Dikatakan, Jenderal Soedirman sampai di Pakis Baru, Nawangan, Kabupaten Pacitan, setelah hampir 7 bulan bergerilya keluar masuk hutan, naik turun gunung, dan menjelajah kampung. Kalau Anda berkunjung ke rumah bersejarah ini, Anda dapat menyaksikan dan merasakan betapa dahsyatnya perjuangan Jenderal Soedirman. Medan jalan yang berkelok-kelok, naik-turun pebukitan dengan jurang yang dalam di salah satu sisi jalan. 

Tentu saja alam sekitar yang indah dan berudara sejuk, bahkan mungkin dirasakan sebagian orang sebagai sangat dingin. "Dari arah mana pun perjalanan menuju Pakis Baru, yang dirasakan adalah jalan yang penuh tantangan. Kita bisa merasakan betapa gigihnya perjuangan Jenderal Besar Soedirman, walau dalam kondisi sakit-sakitan," kata Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono
Markas Gerilya Jenderal Soedirman ini terletak 32 km arah timur dari pusat pemerintahan di Kabupaten Pacitan. Dapat ditempuh dengan kendaraan mobil selama satu jam perjalanan. Rumah ini juga dapat ditempuh dari Kota Solo, Jawa Tengah, dengan perjalanan darat selama kurang lebih 3 jam. Atau melalui Yogyakarta selama 4 jam perjalanan. Tidak jauh dari Markas Gerilya ini, sekitar 2 km, terdapat kompleks Monumen Patung Panglima Besar Jenderal Besar Soedirman yang sangat megah. 


Ada apa di Markas? 

Sebagai rumah bersejarah, wisatawan bisa melihat situasi dan kondisi rumah yang dijadikan Markas Perang Gerilya ini. Rumah yang menghadap ke arah utara ini terdiri dari dua bagian, yaitu bagian depan yang disambungkan dengan bagian belakang. Rumah bagian depan berbentuk empat persegi panjang, berukuran 11,5 x 7,25 meter persegi, sedangkan rumah bagian belakang berukuran 10,2 x 7,3 meter persegi. 
Rumah ini berlantaikan tanah liat. Rumah bagian depan dindingnya terbuat dari papan kayu (gebyok). Sementara rumah bagian belakang dindingnya terbuat dari anyaman bambu (gedhek). Pada ruangan depan terdapat 2 buah pintu, dan terdapat tiang-tiang kayu yang menyangga konstruksi atap. Di ruangan ini juga terdapat 4 buah kamar tidur, yang salah satunya merupakan kamar tidur Panglima Besar Soedirman. Kamar tidur lainnya pernah ditempati ajudan Beliau, yaitu Soepardjo Rustam dan Tjokro Pranolo. 


Di rumah bagian depan, dipamerkan kamar tidur Panglima Besar Soedirman, serta foto-foto Beliau ketika foto bersama dengan masyarakat di depan rumah bersejarah ini. Juga foto ketika berangkat bergerilya dan ketika Beliau pulang ke Yogyakarta

Selain itu, di runag depan juga disajikan tiruan tandu, meja-kursi tamu, dan tempat tidur pengawal/ajudan Beliau. Di ruang bagian belakang terdapat peralatan audiovisual, untuk menyaksikan tayangan tentang Panglima Besar Jenderal Besar Soedirman. 

Juga bisa dilihat peralatan dapur, alat-alat memasak, tempayan, dan peralatan lainnya. Ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengunjungi rumah bersejarah ini, juga dipamerkan baju hangat yang dipakai Jenderal Soedirman, ikat kepala warna hitam, dan keris, yang dipinjamkan sementara dari Museum Jenderal Besar Soedirman.

Di masa gerilya di ruangan rumah terdapat satu set meja dan kursi tamu yang terbuat dari kayu serta balai-balai dari bambu. Ruang bagian belakang, yang diduga dimanfaatkan sebagai dapur dan tempat penyimpanan berbagai peralatan, tidak terdapat kamar. Pada rumah bagian belakang ini juga terdapat tiang-tiang serta terdapat sebuah pintu. Atap rumah berbentuk dua buah limasan yang disambungkan dengan talang di tengahnya. Genting penutup atap rumah terbuat dari tanah liat. 

Untuk lebih memberikan informasi tentang arti penting rumah bersejarah Markas Gerilya ini, di dalam rumah kini dilakukan penataan berupa pemasangan papan informasi, foto koleksi, dan perabotan. Di depan rumah disajikan sekilas tentang sejarah dan rute Perang Gerilya, sejak berangkat hingga kembali ke Yogyakarta





http://travel.kompas.com




Kamis, 02 Maret 2017

WADUK SONG PUTRI, EROMOKO, WONOGIRI

WADUK SONG PUTRI
Waduk Song Putri adalah sebuah waduk
buatan dng tujuan untuk saluran irigasi
persawahan, dikatakan Song Putri, karena
diatas waduk tersebut ada sebuah Gua yang
namanya Song Putri, terletak di Kecamatan
Eromoko Kab. Wonogiri, jarak 39 km dari
Kota Wonogiri, dari Eromoko ke selatan arah
Pracimantoro 4 km kemudian masuk ke arah
kanan, pegunungan.
Desa:Sindukarto
Kecamatan:Eromoko
Kabupaten:Wonogiri
Provinsi:Jawa Tengah
Nama Sungai:S. Kuweni dan S. Mlati
Luas Catchment:2.67 km2
Elevasi:224 m
Volume:651.000 m3
Luas Layanan:517 ha
Fungsi:- Untuk Irigasi
Tahun Pembuatan:1985
Kondisi:Rusak Ringan

KAMIS 22 AGUSTUS 1985 Setiba di Solo pagi ini, Presiden dan Ibu Tien Soeharto menghadiri upacara peresmian Waduk Song Putri, Wonogiri, Jawa Tengah. Presiden meresmikan waduk ini dengan menandatangani prasasti dan membuka pintu waduk. Pada kesempatan itu Kepala Negara mengadakan dialog dengan para petani setempat. Sementara itu Ibu Tien Soeharto menyerahkan bibit penghijauan kepada Kepala Desa Windukerto, Wonogiri.
Memberikan kata sambutan pada acara peresmian, Presiden mengatakan antara lain bahwa salah satu syarat untuk meningkatkan pembangunan adalah memperbesar dan memperbanyak keterampilan untuk membangun dalam segala bidang. Sebab, pada akhimya, berhasil atau gagalnya pelaksanaan pembangunan sepenuh-penuhnya berada di tangan kita sendiri. Tidak ada orang lain yang dapat menolong kita jika kita tidak dapat menolong diri kita sendiri. Dalam rangka itulah mudah bagi kita untuk terus menambah tenaga-tenaga yang cakap dan terampil dalam segala lapangan pembangunan dan di segala tingkatan. (AFR)

Jumat, 15 Juli 2016

Candi Cetho, Karanganyar


 Candi Cetho, candi yang letaknya di Dusun Cetho, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Lokasi Candi Cetho yang berada di lereng gunung Lawu, dengan ketinggian 1.496 meter dari permukaan laut.
Ketika ditemukan keadaan candi ini merupakan reruntuhan batu 14 dataran bertingkat, memanjang dari barat (paling rendah) ke timur, meskipun pada saat ini terlihat 13 teras, dan hanya 9 teras yang dilakukan pemugaran. 
  Pada teras ke-14 belas katanya hanya wanita yang masih perawan saja yang bisa sampai ke teras tersebut.
  Pemugaran yang dilakukan oleh Humardani, asisten pribadi Suharto, pada akhir 1970-an, dalam pemugaran tersebut banyak bangunan yang ditambahkan seperti gapura dan bale-bale. Hal ini katanya tidak memenuhi kaidah pemugaran, namun dsisi lain bangunan baru tersebut membuat suasana candi seperti hidup kembali di jamannya.


Menurut ceritanya candi ini merupakan tempat pesanggrahan Brawijaya sebelum beliau moksa di puncak Lawu. Sebenarnya candi ini belum terselesaikan seluruhnya, karena saat itu Brawijaya tengah dalam pelarian dikejar-kejar oleh pasukan Raden Patah dari Demak. Kala itu, dari Desa Seto Brawijaya lalu lari ke Desa Sukuh dan mendirikan pula sebuah candi di sana.

 Namun, sebelum pindah ke Desa Sukuh, pada puncak Candi Ceto ini Brawijaya sempat mendirikan arca dirinya yang dinamakan Nala Genggong. Melihat gapura Candi Seto mengingatkan kita akan bentuk-bentuk gapura di Pulau Bali. Tak salah memang, karena Candi Seto merupakan peninggalan Kerajaan Majapahit yang merupakan kerajaan Hindu di tanah air. Candi berundak yang menghadap ke barat, menjadi simbol berakhirnya Kerajaan Majapahit.

 
Terdapat sebuah tataan batu mendatar di permukaan tanah yang menggambarkan kura-kura raksasa, surya Majapahit. Kura-kura adalah lambang penciptaan alam semesta sedangkan penis merupakan simbol pencpiptaan manusia.  Terdapat penggambaran hewan-hewan lain, seperti mimi, katak, dan ketam. Pada aras ke delapan terdapat arca phallus ( disebut “kuntobimo”) disisi utara dan arca Sang Prabu Brawijaya V dalam wujud Mahadewa. Pemujaan terhadap arca ini melambangkan ungkapan syukur dan pengharapan atas kesuburan yang melimpah atas bumi. Dan yang terakhir adalah aras ke sembilan merupakan aras tertinggi sebagai tempat pemanjatan doa. Disini terdapat bangunan batu berbentuk kubus.


 
 Disebut Cetho, karena di dusun ini orang dapat melihat dengan sangat jelas pemandangan pegunungan yang mengitarinya yaitu Gunung Merbabu, Gunung Merapi, Gunung Lawu, dan di kejauhan tampak puncak Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing








Sumber:
http://www.catatannobi.com
http://sejarah-puri-pemecutan.blogspot.co.id
http://www.jalansolo.com
http://candi1001.blogspot.co.id

Kamis, 12 Mei 2016

Monumen Jendral Sudirman




  Monumen ini terletak di dukuh Sobo, Desa Pakisbaru, Kecamatan Nawangan Kabupaten Pacitan yaitu sekitar 34 km dari pusat kota Pacitan.

  Untuk menuju obyek wisata ini kita akan melewati jalan yang berkelok kelok khas daerah pegunungan Pacitan. Kita akan melihat pemandangan yang indah saat perjalanan. Untuk masuk ke obyek wisata ini tidak dikenakan biaya alias gratis. Yuk kita mengenang perjuangan salah satu pahlawan besar kita dengan mengunjungi Monumen Jendral Besar Sudirman.



Sebelum masuk ke monumen tersebut, kita akan melewati 8 gerbang yang menunjukkan 8 provinsi pada tahun 1948 – 1949.

Untuk mencapai monumen Jendral Soedirman kita harus melewati tiga jalur berundak, dengan jumlah anak tangga tiap jalurnya adalah 45, 8 dan 17. Jumlah anak tangga tersebut merupakan cerminan dari tanggal, bulan dan tahun kemerdekaan Republik Indonesia. Patung jendral Soedirman ini berdiri kokoh di atas tanah seluas 97,831 meter persegi.



Di kompleks monumen ini kita juga bisa menyaksikan relief yang terbuat dari perunggu yang menggambarkan perjalanan hidup dan perjuangan Jendral Besar Sudirman. Relief itu menceritakan masa kecil hingga akhir usia Jendral Sudirman. Masa kelahiran, mengaji, sekolah, kepanduan, menjadi anggota Peta, memimpin gerilya hingga meninggal terceritakan dengan relief ini.


 


Sumber :
alipz33.mywapblog.com
http://webwisata.com/wisata-ke-monumen-jendral-sudirman-pacitan.html