Selasa, 07 Maret 2017

APRI (MARKAS BESAR PANGLIMA JENDRAL SUDIRMAN)

Kabupaten Pacitan, Provinsi Jawa Timur, kini mempunyai obyek wisata sejarah berkelas internasional, menyusul diresmikannya Pengembangan dan Revitalisasi Kawasan Wisata Sejarah Panglima Besar Jenderal Besar Soedirman, Senin (15/12) petang di Pakis Baru, Kecamatan Nawangan. 
Di kawasan wisata sejarah ini, salah satu yang menarik adalah sebuah rumah yang dijadikan Markas Gerilya oleh Panglima Besar Jenderal Besar Soedirman. Rumah milik Karsosoemito, seorang bayan di dukuh sobo ini, selama 3 bulan 28 hari (107 hari), sejak tanggal 1 April 1949 sampai 7 Juli 1949, digunakan sebagai markas oleh Panglima Besar Jenderal Besar Soedirman. 

Dikatakan, Jenderal Soedirman sampai di Pakis Baru, Nawangan, Kabupaten Pacitan, setelah hampir 7 bulan bergerilya keluar masuk hutan, naik turun gunung, dan menjelajah kampung. Kalau Anda berkunjung ke rumah bersejarah ini, Anda dapat menyaksikan dan merasakan betapa dahsyatnya perjuangan Jenderal Soedirman. Medan jalan yang berkelok-kelok, naik-turun pebukitan dengan jurang yang dalam di salah satu sisi jalan. 

Tentu saja alam sekitar yang indah dan berudara sejuk, bahkan mungkin dirasakan sebagian orang sebagai sangat dingin. "Dari arah mana pun perjalanan menuju Pakis Baru, yang dirasakan adalah jalan yang penuh tantangan. Kita bisa merasakan betapa gigihnya perjuangan Jenderal Besar Soedirman, walau dalam kondisi sakit-sakitan," kata Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono
Markas Gerilya Jenderal Soedirman ini terletak 32 km arah timur dari pusat pemerintahan di Kabupaten Pacitan. Dapat ditempuh dengan kendaraan mobil selama satu jam perjalanan. Rumah ini juga dapat ditempuh dari Kota Solo, Jawa Tengah, dengan perjalanan darat selama kurang lebih 3 jam. Atau melalui Yogyakarta selama 4 jam perjalanan. Tidak jauh dari Markas Gerilya ini, sekitar 2 km, terdapat kompleks Monumen Patung Panglima Besar Jenderal Besar Soedirman yang sangat megah. 


Ada apa di Markas? 

Sebagai rumah bersejarah, wisatawan bisa melihat situasi dan kondisi rumah yang dijadikan Markas Perang Gerilya ini. Rumah yang menghadap ke arah utara ini terdiri dari dua bagian, yaitu bagian depan yang disambungkan dengan bagian belakang. Rumah bagian depan berbentuk empat persegi panjang, berukuran 11,5 x 7,25 meter persegi, sedangkan rumah bagian belakang berukuran 10,2 x 7,3 meter persegi. 
Rumah ini berlantaikan tanah liat. Rumah bagian depan dindingnya terbuat dari papan kayu (gebyok). Sementara rumah bagian belakang dindingnya terbuat dari anyaman bambu (gedhek). Pada ruangan depan terdapat 2 buah pintu, dan terdapat tiang-tiang kayu yang menyangga konstruksi atap. Di ruangan ini juga terdapat 4 buah kamar tidur, yang salah satunya merupakan kamar tidur Panglima Besar Soedirman. Kamar tidur lainnya pernah ditempati ajudan Beliau, yaitu Soepardjo Rustam dan Tjokro Pranolo. 


Di rumah bagian depan, dipamerkan kamar tidur Panglima Besar Soedirman, serta foto-foto Beliau ketika foto bersama dengan masyarakat di depan rumah bersejarah ini. Juga foto ketika berangkat bergerilya dan ketika Beliau pulang ke Yogyakarta

Selain itu, di runag depan juga disajikan tiruan tandu, meja-kursi tamu, dan tempat tidur pengawal/ajudan Beliau. Di ruang bagian belakang terdapat peralatan audiovisual, untuk menyaksikan tayangan tentang Panglima Besar Jenderal Besar Soedirman. 

Juga bisa dilihat peralatan dapur, alat-alat memasak, tempayan, dan peralatan lainnya. Ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengunjungi rumah bersejarah ini, juga dipamerkan baju hangat yang dipakai Jenderal Soedirman, ikat kepala warna hitam, dan keris, yang dipinjamkan sementara dari Museum Jenderal Besar Soedirman.

Di masa gerilya di ruangan rumah terdapat satu set meja dan kursi tamu yang terbuat dari kayu serta balai-balai dari bambu. Ruang bagian belakang, yang diduga dimanfaatkan sebagai dapur dan tempat penyimpanan berbagai peralatan, tidak terdapat kamar. Pada rumah bagian belakang ini juga terdapat tiang-tiang serta terdapat sebuah pintu. Atap rumah berbentuk dua buah limasan yang disambungkan dengan talang di tengahnya. Genting penutup atap rumah terbuat dari tanah liat. 

Untuk lebih memberikan informasi tentang arti penting rumah bersejarah Markas Gerilya ini, di dalam rumah kini dilakukan penataan berupa pemasangan papan informasi, foto koleksi, dan perabotan. Di depan rumah disajikan sekilas tentang sejarah dan rute Perang Gerilya, sejak berangkat hingga kembali ke Yogyakarta





http://travel.kompas.com




Kamis, 02 Maret 2017

WADUK SONG PUTRI, EROMOKO, WONOGIRI

WADUK SONG PUTRI
Waduk Song Putri adalah sebuah waduk
buatan dng tujuan untuk saluran irigasi
persawahan, dikatakan Song Putri, karena
diatas waduk tersebut ada sebuah Gua yang
namanya Song Putri, terletak di Kecamatan
Eromoko Kab. Wonogiri, jarak 39 km dari
Kota Wonogiri, dari Eromoko ke selatan arah
Pracimantoro 4 km kemudian masuk ke arah
kanan, pegunungan.
Desa:Sindukarto
Kecamatan:Eromoko
Kabupaten:Wonogiri
Provinsi:Jawa Tengah
Nama Sungai:S. Kuweni dan S. Mlati
Luas Catchment:2.67 km2
Elevasi:224 m
Volume:651.000 m3
Luas Layanan:517 ha
Fungsi:- Untuk Irigasi
Tahun Pembuatan:1985
Kondisi:Rusak Ringan

KAMIS 22 AGUSTUS 1985 Setiba di Solo pagi ini, Presiden dan Ibu Tien Soeharto menghadiri upacara peresmian Waduk Song Putri, Wonogiri, Jawa Tengah. Presiden meresmikan waduk ini dengan menandatangani prasasti dan membuka pintu waduk. Pada kesempatan itu Kepala Negara mengadakan dialog dengan para petani setempat. Sementara itu Ibu Tien Soeharto menyerahkan bibit penghijauan kepada Kepala Desa Windukerto, Wonogiri.
Memberikan kata sambutan pada acara peresmian, Presiden mengatakan antara lain bahwa salah satu syarat untuk meningkatkan pembangunan adalah memperbesar dan memperbanyak keterampilan untuk membangun dalam segala bidang. Sebab, pada akhimya, berhasil atau gagalnya pelaksanaan pembangunan sepenuh-penuhnya berada di tangan kita sendiri. Tidak ada orang lain yang dapat menolong kita jika kita tidak dapat menolong diri kita sendiri. Dalam rangka itulah mudah bagi kita untuk terus menambah tenaga-tenaga yang cakap dan terampil dalam segala lapangan pembangunan dan di segala tingkatan. (AFR)

Jumat, 15 Juli 2016

Candi Cetho, Karanganyar


 Candi Cetho, candi yang letaknya di Dusun Cetho, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Lokasi Candi Cetho yang berada di lereng gunung Lawu, dengan ketinggian 1.496 meter dari permukaan laut.
Ketika ditemukan keadaan candi ini merupakan reruntuhan batu 14 dataran bertingkat, memanjang dari barat (paling rendah) ke timur, meskipun pada saat ini terlihat 13 teras, dan hanya 9 teras yang dilakukan pemugaran. 
  Pada teras ke-14 belas katanya hanya wanita yang masih perawan saja yang bisa sampai ke teras tersebut.
  Pemugaran yang dilakukan oleh Humardani, asisten pribadi Suharto, pada akhir 1970-an, dalam pemugaran tersebut banyak bangunan yang ditambahkan seperti gapura dan bale-bale. Hal ini katanya tidak memenuhi kaidah pemugaran, namun dsisi lain bangunan baru tersebut membuat suasana candi seperti hidup kembali di jamannya.


Menurut ceritanya candi ini merupakan tempat pesanggrahan Brawijaya sebelum beliau moksa di puncak Lawu. Sebenarnya candi ini belum terselesaikan seluruhnya, karena saat itu Brawijaya tengah dalam pelarian dikejar-kejar oleh pasukan Raden Patah dari Demak. Kala itu, dari Desa Seto Brawijaya lalu lari ke Desa Sukuh dan mendirikan pula sebuah candi di sana.

 Namun, sebelum pindah ke Desa Sukuh, pada puncak Candi Ceto ini Brawijaya sempat mendirikan arca dirinya yang dinamakan Nala Genggong. Melihat gapura Candi Seto mengingatkan kita akan bentuk-bentuk gapura di Pulau Bali. Tak salah memang, karena Candi Seto merupakan peninggalan Kerajaan Majapahit yang merupakan kerajaan Hindu di tanah air. Candi berundak yang menghadap ke barat, menjadi simbol berakhirnya Kerajaan Majapahit.

 
Terdapat sebuah tataan batu mendatar di permukaan tanah yang menggambarkan kura-kura raksasa, surya Majapahit. Kura-kura adalah lambang penciptaan alam semesta sedangkan penis merupakan simbol pencpiptaan manusia.  Terdapat penggambaran hewan-hewan lain, seperti mimi, katak, dan ketam. Pada aras ke delapan terdapat arca phallus ( disebut “kuntobimo”) disisi utara dan arca Sang Prabu Brawijaya V dalam wujud Mahadewa. Pemujaan terhadap arca ini melambangkan ungkapan syukur dan pengharapan atas kesuburan yang melimpah atas bumi. Dan yang terakhir adalah aras ke sembilan merupakan aras tertinggi sebagai tempat pemanjatan doa. Disini terdapat bangunan batu berbentuk kubus.


 
 Disebut Cetho, karena di dusun ini orang dapat melihat dengan sangat jelas pemandangan pegunungan yang mengitarinya yaitu Gunung Merbabu, Gunung Merapi, Gunung Lawu, dan di kejauhan tampak puncak Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing








Sumber:
http://www.catatannobi.com
http://sejarah-puri-pemecutan.blogspot.co.id
http://www.jalansolo.com
http://candi1001.blogspot.co.id

Kamis, 12 Mei 2016

Monumen Jendral Sudirman




  Monumen ini terletak di dukuh Sobo, Desa Pakisbaru, Kecamatan Nawangan Kabupaten Pacitan yaitu sekitar 34 km dari pusat kota Pacitan.

  Untuk menuju obyek wisata ini kita akan melewati jalan yang berkelok kelok khas daerah pegunungan Pacitan. Kita akan melihat pemandangan yang indah saat perjalanan. Untuk masuk ke obyek wisata ini tidak dikenakan biaya alias gratis. Yuk kita mengenang perjuangan salah satu pahlawan besar kita dengan mengunjungi Monumen Jendral Besar Sudirman.



Sebelum masuk ke monumen tersebut, kita akan melewati 8 gerbang yang menunjukkan 8 provinsi pada tahun 1948 – 1949.

Untuk mencapai monumen Jendral Soedirman kita harus melewati tiga jalur berundak, dengan jumlah anak tangga tiap jalurnya adalah 45, 8 dan 17. Jumlah anak tangga tersebut merupakan cerminan dari tanggal, bulan dan tahun kemerdekaan Republik Indonesia. Patung jendral Soedirman ini berdiri kokoh di atas tanah seluas 97,831 meter persegi.



Di kompleks monumen ini kita juga bisa menyaksikan relief yang terbuat dari perunggu yang menggambarkan perjalanan hidup dan perjuangan Jendral Besar Sudirman. Relief itu menceritakan masa kecil hingga akhir usia Jendral Sudirman. Masa kelahiran, mengaji, sekolah, kepanduan, menjadi anggota Peta, memimpin gerilya hingga meninggal terceritakan dengan relief ini.


 


Sumber :
alipz33.mywapblog.com
http://webwisata.com/wisata-ke-monumen-jendral-sudirman-pacitan.html

Kamis, 03 Desember 2015

KABUPATEN KUDUS, JAWA TENGAH

Kudus merupakan kabupaten terkecil di Jawa Tengah dengan luas wilayah mencapai 42.516 Ha yang terbagi dalam 9 kecamatan. Kudus merupakan daerah industri dan perdagangan, dimana sektor ini mampu menyerap banyak tenaga kerja dan memberikan kontribusi yang besar terhadap PDRB.

Menara Kudus adalah bangunan tua yang terbuat dari batu bata merah berbentuk Menara yang merupakan hasil akulturasi kebudayaan Hindu-Jawa dan Islam. Menara Kudus bukanlah bangunan bekas Candi Hindu melainkan menara yang dibangun pada zaman kewalian / masa transisi dari akhir Kerajaan Majapahit beralih ke zaman Kerajaan Islam Demak. Bentuk konstruksi dan gaya arsitektur Menara Kudus mirip dengan candi-candi Jawa Timur di era Majapahit sampai Singosari misalnya Candi Jago yang menyerupai menara Kulkul di Bali. Menara Kudus menjadi simbol “Islam Toleran” yang berarti Sunan Kudus menyebarluaskan agama Islam di Kudus dengan tetap menghormati pemeluk agama Hindu-Jawa yang dianut masyarakat setempat.



Rokok Kretek adalah warisan budaya, tak ubahnya warisan budaya lain seperti batik. Ramuan tembakau dan cengkeh ini pertama kali ditemukan oleh warga Kudus, haji Djamhari pada tahun 1980. Sebuah budaya asli Indonesia 


 Industri rokok kretek di Kudus tak lepas dari sosok Haji Djamhari yang meninggal pada tahun 1980. Dari ketidaksengajaan yang dilakukan, kemudian berkembanglah industri rokok kretek seperti sekarang. Alkisah karena deraan penyakit dada yang menyesakkan napasnya, ia mencoba mengoleskan minyak cengkeh pada dada dan punggungnya. Sekalipun tidak sembuh betul, napasnya dirasakan tidak sesak seperti sebelumnya.

Dari pengalaman tersebut, Djamhari mencoba cara lain lagi yakni dengan cara mencampurkan rempah-rempah itu pada rokok yang diisapnya. Cengkeh yang ia rajang halus docampurkannya dengan tembakau yang ia linting menjadi batang rokok. Berkat rokok campuran cengkeh rajangan itu, H Djamhari kemudian terbebas dari sesak napasnya. Sukses percobaannya pun cepat menyebar kemana-mana. Banyaknya permintaan akan rokok dengan campuran cengkeh memaksa Djamhari membuat dalam jumlah besar. Sejak masa itulah kemudian industri rokok terlahir. Dan rokok cengkeh yang saat diisap menimbulkan bunyi kretek-kretek karena cengkeh yang terbakar, khalayak kemudian menyebut rokok tersebut sebagai rokok kretek.



pakaian adat perempuan
  • Caping Kalo
  • Baju kurung beludru
  • Jarik/Sinjang Laseman
  • Selendang Tohwatu
  • Selop kelompen
  • Aksesoris kepala dan leher yaitu sanggul besar dengan cunduk mentul berjumlah lima atau tiga buah, Suweng beras kecer atau suweng babon angkrem, kalung (sangsang) robyong berjuntai lima (5) atau berjuntai sembilan (9), menghiasi leher sampai dengan dadanya, kancing peniti dari keping mata uang: ece, ukon, rupih atau ringgit, gelang lungwi, cincin Sigar Penjalin

pakaian adat pria
  • Blangkon gaya Surakarta
  • Beskap Kudusan
  • Jarik Laseman
  • Selop alas kaki
  • Ikat pinggang atau Timang
  • Keris motif Gayaman atau ladrangan







 sumber : www.kuduskab.go.id

Sabtu, 26 September 2015

Curuk Melati, Selogiri, Wonogiri

Grojogan Melati berlokasi di Dusun Melati, Desa Keloran, Selogiri, Wonogiri. Dari Kantor Desa Keloran berjarak sekitar 3 kilometer arah selatan. Untuk mencapai tempat itu, harus berjalan kaki. Kendaraan roda 4 atau 2 tidak bisa mencapainya, sebab akses jalan yang ada masih berupa jalan setapak.
Wisata alam air terjun ini benar benar menyuguhkan keindahan alam yang alami karena belum trsentuh tangn pemerintah dan tangan tangan iseng. 
Bahkan untuk mencapai lokasi air terjun pertama kita harus menempuh jarak kurang lebih 1kilometer jalan kaki melewati area persawahan,tebing terjal, jurang serta aliran sungai yang jernih airnya. Untuk akses masuk hanya membayar parkir ke rumah warga lalu tinggal berjalan menuju Jurug.Memang melelahkan tapi lelah akan hilang karena disuguhi pemandangan hijau di sepanjang perjalanan.

7 Tingkat Air terjun ini ialah Banyu Anjlok, Kedung Bandang, Kedung Bunder, Kedung Turuk, Jurang Gandil, Kali Tangan dan Kali Telu. Ketujuh aer terjun ini memiliki keunikan masing masing. Mulai dari bentuk dan namanya. Setiap menuju air terjun berikutnya anda akan disuguh tantangan seperti menuju ke Kali Tangan anda harus naik tebing dengan tali berupa akar pohon dan itu sangat curam. Maklum saja pemerintah belum memberikan akses mudah untuk mencapai air terjun itu. Kebanyakan wisatawan lokal hanya sampai di Kedung Turuk salah satu air terjun yang diyakini bentuknya mirip seperti alat kelamin perempuan. Kemudian Jurang Gandil yang tebingnya mirip eskalator di Mall juga menyuguhkan keindahan. Air yang masih jernih tidak kotor dan benar benar suasana pegunungan yang segar menambah daya tarik ari terjun ini.












Sumber :http://www.timlo.net
              http://radiogglink.com